Taati Prokes Agar Terhindar dari Gelombang Ketiga Covid-19

Pandemi Covid-19 gelombang ketika masih mengancam

ANTARA/Indrianto Eko Suwarso
Petugas memeriksa Surat Izin Keluar Masuk (SIKM) Jakarta terhadap pengendara kendaraan bermotor yang melintas menuju Jakarta di perbatasan wilayah, Depok, Jawa Barat, Rabu (27/5/2020). Pemprov DKI Jakarta memberlakukan kebijakan SIKM Jakarta untuk mencegah potensi gelombang kedua COVID-19 di ibu kota
Rep: zahrotul Oktaviani Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, -- Meski masih di kisaran 1000-an kasus pada bulan Oktober 2021 namun, angka kasus harian Covid-19 akhir-akhir ini patut diwaspadai bisa terus mengalami peningkatan. Jika kita mulai lalai dalam penerapan protokol kesehatan, mungkin saja gelombang ketiga pandemi Covid-19 bisa terjadi. 


Kewaspadaan akan gelombang ketiga Covid-19 diwanti-wanti oleh Juru Bicara Pemerintah Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito. Menurutnya, beberapa negara telah mengalami lonjakan kasus ketiga Covid-19.

Kecurigaan akan datangnya gelombang ketiga Covid-19 bukan tak mendasar. Pemerintah merasa perlu berhati-hati, berkaca dari pola lonjakan kasus yang terjadi di dunia dan Indonesia di masa-masa sebelumnya. 

Puncak pertama kasus harian Covid-19 terjadi bersamaan dengan puncak pertama di dunia dan sejumlah negara lainnya, yaitu pada Desember 2020 dan Januari 2021. Masa itu merupakan periode Natal dan Tahun Baru.

“Namun, ketika dunia yang didominasi kasus dari India melonjak pada April 2021, Indonesia justru sedang berada di angka kasus yang sangat rendah,” ujar Wiku dalam konferensi pers dikutip laman Covid19.go.id

Sementara pada Juli saat negara lain sedang mengalami penurunan kasus, Indonesia justru mengalami lonjakan kasus kedua. Memasuki bulan Agustus, kasus di Indonesia pun mengalami penurunan. Namun, dunia justru mulai memasuki lonjakan kasus ketiga berbarengan dengan sejumlah negara lainnya seperti Jepang, Singapura, dan Malaysia.

Dengan pola yang demikian, maka tak menutup kemungkinan lonjakan kasus harian ketiga bisa saja terjadi. Ini yang dinilai Wiku perlu kehati-hatian bagi masyarakat Indonesia. “Adanya lonjakan kasus ketiga ini menjadi perhatian bagi Indonesia untuk tetap berhati-hati menyikapi penurunan kasus yang terjadi terutama dalam hal pembukaan aktivitas masyarakat,” ujar Wiku.

Kondisi COVID-19 di Indonesia yang saat ini membaik, kata Wiku, tercapai berkat dukungan seluruh lapisan masyarakat, peran tenaga kesehatan sebagai garda terdepan pengendalian, serta kerjasama berbagai sektor, kementerian, dan lembaga. 

"Oleh karena itu, dalam periode pembukaan bertahap ini, prestasi tersebut harus dipertahankan. Dengan menerapkan disiplin protokol kesehatan dalam setiap kegiatan, pengujian ekstensif, dan kesediaan untuk divaksinasi, produktivitas masyarakat dapat terus dilakukan dengan aman," tegas Wiku.

Munculnya gelombang ketiga pandemi Covid-19 juga disebut Ketua Satgas Penanganan COVID-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Prof Zubairi Djoerban, masih mungkin terjadi. Meski masih menjadi perdebatan di kalangan para ahli, tapi Zubairi mengemukakan sejumlah perkiraan situasi yang memicu gelombang ketiga Covid-19 di Indonesia.

"Apakah gelombang ketiga itu mungkin terjadi? Tentu kita berharap jangan sampai terjadi. Namun kenyataannya dari data sekarang ini kondisi itu amat mungkin terjadi," kata Zubairi Djoerban dalam postingan kanal YouTube pribadinya bertajuk 'Harap-Harap Cemas Gelombang Ketiga'.

Zubairi mengatakan situasi sejumlah negara tetangga Indonesia saat ini sedang menunjukkan tren peningkatan kasus terkonfirmasi positif COVID-19. Dia mencontohkan Malaysia, Singapura, Thailand dan Filipina.

Negara-negara itu, kata dia memiliki kasus yang meningkat dan melebihi kasus harian Indonesia. Meski kondisi COVID-19 di Indonesia sedang membaik, tapi Zubairi tetap mengingatkan pandemi di Tanah Air kerap dipengaruhi oleh kondisi negara terdekat. 

Zubairi mengatakan potensi lain kemunculan gelombang ketiga di Indonesia bisa dipicu varian baru SARS-CoV-2 penyebab COVID-19, pelaksanaan sekolah tatap muka, pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) Papua. "Kita sudah mulai buka sekolah tatap muka dan ternyata menyebabkan beberapa klaster. Kemudian kita tahu PON Papua walaupun sebagian besar yang terinfeksi itu sembuh," katanya.

Zubairi juga mengingatkan, dibukanya kembali kawasan pariwisata juga dapat meningkatkan potensi gelombang ketiga di Indonesia. Membludaknya kawasan pariwisata bisa menjadi tempat penularan Covid-19. 

Cepat atau lambatnya kedatangan gelombang ketiga ini, kata dia, bergantung kepada tiga hal. Pertama adalah ketaatan perilaku masyarakat akan protokol kesehatan. Kedua adalah penentuan kebijakan yang tak terburu-buru dan memerlukan pertimbangan yang matang dalam melonggarkan aturan. 

Dan ketiga adalah perilaku virusnya itu sendiri. “Virusnya itu cepat, hampir selalu mutasi terus. Dan muncul satu-dua mutasi yang mungkin berbahaya di kemudian hari,” jelas dia.

Munculnya ancaman gelombang ketiga Covid-19 membuat kita semua harus melakukan antisipasi. Kementerian Komunikasi dan Informatika RI menyatakan, pemerintah memiliki enam strategi untuk mengantisipasi gelombang ketiga Covid-19 yang diprediksi terjadi pada akhir tahun ini. 

Mobilitas rakyat jadi kunci kendali

Menurut Menteri Kominfo Johnny G Plate, mobilitas masyarakat menjadi kunci dari pengendalian ini. Hal itu berdasarkan pengalaman tahun lalu, di mana mobilitas masyarakat meningkat ketika libur Natal dan Tahun Baru.

Pemerintah memperkuat antisipasi untuk akhir tahun ini. Pertama, memastikan pelonggaran aktivitas diikuti pengendalian lapangan yang ketat.

Johnny mengingatkan, penurunan tingkat Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) tidak disikapi dengan euforia. "Kita harus tetap waspada menerapkan protokol kesehatan dan membatasi mobilitas," kata Johnny, dilansir laman Antara.

Kedua, pemerintah terus meningkatkan laju vaksinasi untuk kelompok lanjut usia, terutama di wilayah aglomerasi dan pusat pertumbuhan ekonomi. Tujuannya, menekan angka kematian dan perawatan rumah sakit jika sampai terjadi gelombang ketiga.

Ketiga, pemerintah mendorong percepatan vaksinasi anak agar ketika musim libur Natal dan Tahun Baru, imunitas anak sudah terbentuk. Keempat, penerbangan internasional sudah dibuka, pemerintah berkomitmen menertibkan mobilitas pelaku perjalanan internasional dengan aturan protokol kesehatan yang ketat, terutama ke Bali. 

Hal ini menyusul penerbangan internasional di Bandara Ngurah Rai, Bali, dibuka pada 14 Oktober. Kelima, memperkuat peran pemerintah daerah dalam mengawasi kegiatan dan mengedukasi warga di daerah tentang rincian protokol kesehatan yang harus dijalankan.

Terakhir, kampanye protokol kesehatan untuk meningkatkan kedisiplinan masyarakat. "Butuh kerja sama yang baik dari seluruh pihak agar Indonesia berhasil mengendalikan pandemi Covid-19 dan memulihkan perekonomian nasional. Disiplin 3M, 3T, vaksinasi, dan implementasi teknologi informasi seperti PedulilLindungi, menjadi kuncinya," kata Johnny.

Dari sisi masyarakat, menurut Sosiolog Universitas Nasional Nia Elvina mengatakan, masyarakat Indonesia saat ini terdominasi atas orang-orang yang menganut prinsip patron-klien atau pemimpin-pengikut. Dengan demikian, Pemerintah diminta untuk tetap berhati-hati dalam mengambil langkah antisipasi terjadinya gelombang ketiga Covid-19.

“Pemerintah bisa belajar banyak dari pengalaman kita sendiri dalam penanganan Covid dan negara lain yang telah mengalami gelombang ketiga pandemi ini,” jelas Nia kepada Republika.

Menurut Nia, inisiasi terkait penanganan pandemi Covid-19 dan antisipasi gelombang ketiga bukan dari masyarakat. Selain dominasi masyarakat adalah terdiri atas orang-orang yang mengikuti aturan dari para pemimpin kebijakan, sebagian besar dari masyarakat juga memiliki fokus memenuhi kebutuhan sehari-hari. 

Masyarakat pun saat ini juga berfokus tentang bagaimana cara agar bisa bertahan di tengah dampak ekonomi dari Covid-19 yang belum peluh. Sebab, tak dimungkiri, angka kemiskinan di tengah masyarakat saat ini mengalami kenaikan imbas adanya pandemi Covid-19. 

“Pemerintah bisa memfilter pengalaman dari negara lain. Dengan demikian dikonstruksi atau dibuat aturan yang sesuai dengan karakter masyarakat kita, “ kata dia.

Kasus penolakan vaksin di Indonesia, kata dia, juga sangat minim dan bisa diantisipasi. Nia mengatakan, fenomena yang terjadi saat ini adalah masyarakat ingin vaksin namun vaksin masih belum tersedia.

Hal ini membuktikan, masyarakat Indonesia pada umumnya memang masih menurut dengan kebijakan Pemerintah tentang pengendalian Covid-19. Dengan demikian, Nia menyebut para pemimpin kebijakan harus bisa menentukan kebijakan yang bisa mengantisipasi penyebaran Covid-19.

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler