Panja RUU TPKS Akui Ada Sejumlah Poin Belum Disepakati
Panja mengeklaim RUU TPKS tak mencantumkan sexual consent seperti Permendikbud PPKS.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Panitia kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) masih belum mendapat persetujuan seluruh fraksi di DPR. Ketua Panja RUU TPKS Willy Aditya mengaku, masih terdapat delapan poin yang menjadi perdebatan dalam RUU tersebut.
Namun, ia tak mengungkapkan seluruh poin yang masih memerlukan penyamaan pandangan tersebut. "Judul, apakah pencegahan ditarik ke depan atau tidak, lalu proses sidang apakah terbatas atau tertutup. Lalu penggunaan kata rehabilitasi atau pemulihan bagi korban dan beberapa poin lainnya," ujar Willy di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (17/11).
Untuk menyamakan pandangan tersebut, Panja menggelar rapat pada Rabu (17/11). Harapannya, ada sejumlah keputusan terkait poin-poin yang masih menjadi perdebatan tersebut. "Ini akan kita lihat nanti dinamikanya bersama bagaimana nanti proses politik yang berkembang, terutama di Baleg," ujar Willy.
Kendati demikian, ia menjelaskan RUU TPKS tak menghalalkan seks bebas seperti yang disebut sejumlah pihak. Bahkan, RUU ini tak mencantumkan persetujuan seks atau sexual consent di dalamnya. "Kami menyusun RUU ini dengan penuh kecermatan dan berbasis sosio-kultural. Jadi kata-kata sexual consent itu tidak ada dalam RUU ini," ujar Willy.
Ia menjelaskan, RUU TPKS disebutnya berbeda dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Riset Teknologi (Permendikbud) Nomor 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. Di mana di dalamnya mencantumkan sexual consent.
"Itu mispersepsi, nanti teman-teman bisa lihat, kita tidak memuat sexual consent sama sekali. Ini berbeda dengan Permendikbud, jadi publik tidak usah khawatir," ujar Willy.
Sebelumnya, Tim ahli Badan Legislasi (Baleg) DPR memaparkan sejumlah poin baru dalam draf RUU TPKS. Salah satunya adalah terkait persetujuan medis atau medical consent. Dalam Pasal 5, diatur jika adanya pemaksaan menggunakan alat kontrasepsi dengan kekerasan, ancaman, penyalahgunaan kekuasaan, hingga memanfaatkan kondisi tak berdaya. Sebab pemaksaan dapat membuat kehilangan fungsi reproduksinya sementara waktu.
"Persetujuan yang dimaksud adalah medical consent yang biasa diberikan pasien sebelum diberikan treatment atau pembedahan oleh dokter atau tenaga medis. Karena tindakan itu akan menyebabkan konsekuensi kepada pasien," ujar tim ahli Baleg Raisah Suarni dalam rapat panitia kerja (Panja) RUU TPKS, Selasa (16/11).
Sebelum diubah menjadi RUU TPKS, RUU tentang kekerasan seksual diberi judul RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Namun, draf RUU PKS justru tak pernah disetujui di internal DPR sendiri. Hingga akhirnya, Panja RUU PKS mengusulkan nama dan draf yang diklaim benar-benar baru dengan nama RUU TPKS.