Arkansas Times Diminta 'Setia' ke Israel, Tapi Mereka Tolak
Lobi-lobi Israel meminta Arkansas Times agar tidak terlibat gerakan boikot Israel.
REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Sebuah surat kabar lokal di Negara Bagian Arkansas, Amerika Serikat (AS) dipaksa menyatakan kesetiaannya kepada Israel dan tidak akan melakukan boikot. Dalam sebuah artikel di New York Times, pendiri Arkansas Times, Alan Leveritt, menceritakan, pada 2018 dia mendapatkan ultimatum oleh Pulaski Technical College untuk mendukung Israel.
Leveritt mengatakan, Pulaski Technical College memberikan uang dan meminta Arkansas Times membuat pernyataan secara tertulis di surat kabar mereka bahwa, mereka tidak terlibat dalam boikot terhadap Israel.
Leveritt menggambarkan, permintaan itu membingungkan. Dia menanyakan alasan kenapa Arkansas Times harus menandatangani perjanjian untuk mendukung Israel. Leveritt kemudian menolak permintaan tersebut.
"Kami tidak mengambil posisi politik dengan imbalan iklan. Jika kami menandatangani janji, saya yakin, kami akan menghilangkan hak kami untuk kebebasan hati nurani. Itu juga akan membahayakan peran surat kabar sebagai entitas jurnalistik, dan menjadikannya tidak layak atas perlindungan yang diberikan kepada kami di bawah Amandemen Pertama," ujar Leveritt, dilansir Middle East Monitor, Rabu (24/11).
Tuntutan untuk berjanji tidak memboikot Israel merupakan bagian dari kampanye nasional untuk mendukung Tel Aviv dan melindunginya dari gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS). Gerakan BDS iluncurkan pada 2005. Gerakan tersebut mendorong pemboikotan produk Israel dari wilayah Palestina yang diduduki di Tepi Barat, serta pemboikotan terhadap perusahaan yang berurusan atau memiliki kontrak dengan Israel.
Senator dan anggota Kongres telah berupaya mengatasi gerakan BDS, dan menghapus segala bentuk dukungan potensial untuk gerakan itu selama bertahun-tahun. Akibatnya, lebih dari 30 negara bagian AS telah meloloskan undang-undang yang menyatakan dukungan terhadap Israel dan menolak gerakan BDS. Arkansas bergabung untuk menolak gerakan BDS pada 2017.
Alasan mengapa Arkansas dengan mudah menyerah pada kampanye anti-BDS, menurut Leveritt adalah karena basis evangelikal konservatif yang ada di negara bagian itu. Termasuk fakta, legislatif Arkansas didominasi kelompok yang percaya keberadaan dan kemakmuran Israel merupakan awal kedatangan Yesus Kristus yang kedua kali.
Salah satu yang berkontribusi pada undang-undang itu di Arkansas adalah mantan pemimpin mayoritas Senat, Bart Hester. Leveritt mengatakan, dalam film dokumenter 'Boycott,' Hester menyatakan, akan ada hal-hal tertentu yang terjadi di Israel sebelum Kristus kembali yaitu ada kelaparan, penyakit, dan perang.
Orang-orang Yahudi akan kembali ke tanah air mereka, dan pada saat itu Yesus Kristus akan kembali ke bumi. Hester juga percaya bahwa siapa pun, terlepas dari orang Yahudi atau bukan Yahudi, yang tidak menerima Kristus akan berakhir di neraka.
Leveritt mengutuk tekanan untuk menjanjikan dukungan bagi Israel sebagai dasar yang tidak konstitusional. Dia juga mencemooh argumen negara bahwa, praktik boikot bukanlah pidato politik melainkan penyesuaian ekonomi, yang membuatnya tunduk pada peraturan negara. "Kami menemukan argumen itu tidak masuk akal," kata Leveritt.
Baca juga : HRW Kritik Taliban Wajibkan Presenter Wanita Pakai Jilbab
Leveritt dan Arkansas Times telah menggugat untuk membatalkan undang-undang anti-BDS, dengan alasan melanggar Amendemen Pertama dan ke-14. Gugatan tersebut diwakili oleh American Civil Liberties Union.
Kasus mereka sekarang telah mencapai Eighth Circuit Court, dan hasil keputusan sidang akan diketahui dalam waktu dekat."Kami khawatir itu (keputusan pengadilan) tidak akan berjalan sesuai keinginan kami," ujar Leveritt.
Jika Leveritt kalah, kasusnya akan berakhir di Mahkamah Agung. Namun, jika itu terjadi, Leveritt memperkirakan ada banyak undang-undang yang menegakkan dukungan buta untuk Israel sehingga menyebabkan kemunduran signifikan dalam perjuangan untuk hak-hak konstitusional.
"Undang-undang antiboikot mengizinkan pemerintah menggunakan uang untuk menghukum perbedaan pendapat, sehingga akan mendorong terciptanya undang-undang yang lebih represif dan berisiko mencekik kebebasan berbicara," kata Leveritt.