UU Pemilu tak Direvisi, Pemilu Serentak Tetap Lima Kotak

Perubahan model pemilu serentak harus mengubah ketentuan UU.

ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal
Ilustrasi pemilihan umum (Pemilu)
Rep: Mimi Kartika Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah dan DPR RI sepakat tidak merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) maupun UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Dengan demikian, penyelenggaraan Pemilu 2024 tetap berpedoman pada kedua UU tersebut, termasuk model pemilu serentak.

"Sejauh ini demikian," ujar Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Benni Irwan kepada Republika, Kamis (25/11).

Pada Rabu (24/11), Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan perkara nomor 16/PUU-XIX/2021 terkait uji materi UU Pemilu mengenai pemungutan suara serentak. MK kembali mengingatkan enam opsi model pemilu serentak dalam pertimbangan putusan nomor 55/PUU-XVII/2019 yang dapat dipilih oleh pembentuk UU, yakni pemerintah dan DPR.

Menurut MK, pemerintah dan DPR berwenang menentukan model pemilu serentak sepanjang tetap menjaga keserentakan pemilihan presiden/wakil presiden, anggota DPR, serta anggota DPD. Sebab, Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial.

MK mendorong pembentuk undang-undang mengevaluasi dan melakukan kajian secara berkala terhadap pelaksanaan teknis keserentakan pemilu. Menjelang penyelenggaraan Pemilu 2024, MK menegaskan agar pembentuk UU segera menindaklanjuti Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019.

Alasan MK menolak perkara Nomor 16/PUU-XIX/2021 karena substansi dan esensi permohonan ini sama seperti pada putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019. Menurut Benni, Kemendagri akan mempelajari putusan MK tersebut.

"Kami akan pelajari lihat dan pelajari terlebih dahulu putusan MK dimaksud," kata dia.

Sementara itu, mengenai persiapan Pemilu 2024, Benni mengatakan, akan dibahas lebih lanjut oleh KPU, pemerintah, dan Komisi II DPR pada rapat kerja atau rapat dengar pendapat mendatang. "Terkait dengan persiapan Pemilu 2024, akan dibahas lebih lanjut oleh KPU, perwakilan pemerintah, dan Komisi II DPR RI pada masa sidang berikutnya," ujar dia.

Di sisi lain, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy'ari menilai pembentuk undang-undang tidak terikat dengan kedua putusan tersebut. Pasalnya, kedua putusan itu ditolak MK sehingga enam opsi model pemilu serentak yang menjadi pertimbangan MK dalam putusannya merupakan pilihan bebas bagi pembentuk undang-undang.

"Sehingga ini semacam pilihan bebas bagi pembentuk undang-undang, yaitu DPR dan presiden apakah ke depan akan mengadopsi salah satu di antara opsi-opsi tersebut," kata Hasyim kepada wartawan, Kamis.

Dia menuturkan, ketika pemerintah dan DPR bersepakat tidak merevisi UU Pemilu, keenam opsi model pemilu serentak itu sementara tidak dilihat. Sebab, perubahan model pemilu serentak harus mengubah ketentuan UU.

Dengan demikian, model pemilu serentak yang diterapkan pada Pemilu 2024 akan sama dengan pelaksanaan Pemilu 2019 lalu, yakni lima kotak suara, terdiri dari pemilihan presiden/wakil presiden, anggota DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi, serta DPRD kabupaten/kota. Sedangkan, pada 2024 nanti beberapa bulan setelah pemilu tersebut, akan digelar pilkada serentak, baik gubernur maupun bupati/wali kota di seluruh Indonesia, kecuali gubernur DI Yogyakarta.

Selain itu, Hasyim menambahkan, terkait persiapan Pemilu 2024, KPU mengajukan permohonan konsultasi atau rapat dengar pendapat kepada Komisi II DPR. Hal ini berkaitan dengan desain tahapan pemilu, termasuk usulan jadwal pemungutan suara Pemilu pada 21 Februari 2024.

"Apa yang disampaikan KPU, cara pandang kemudian mendesain tahapan Pemilu 2024 itu boleh dikatakan sudah mendekati fix atau final, yang diusulkan KPU itu hari coblosannya 21 Februari 2024," kata dia menjelaskan.

Baca Juga


 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler