100 Hari Taliban Berkuasa, Afghanistan Masih Dihantui 5 Isu
Ada 5 isu utama yang mencengkeram Afghanistan 100 hari usai pengambilalihan Taliban
REPUBLIKA.CO.ID, AFGHANISTAN— Ketika Taliban mengambil alih Kabul pada 15 Agustus, organisasi kemanusiaan Barat menarik bantuan mereka. Situasi itu mendorong Afghanistan ke jurang kehancuran ekonomi dan kelaparan ke seluruh negeri.
Amerika Serikat juga membekukan hampir 9,5 miliar dolar aset milik bank sentral Afghanistan dan menghentikan pengiriman uang tunai ke negara itu, menyebabkan sistem keuangan runtuh dalam beberapa bulan. Para pemimpin Taliban telah menjanjikan perdamaian, ketertiban, dan amnesti di Afghanistan sambil memastikan perempuan dan anak perempuan akan diberikan hak-hak tertentu. Mereka telah mendesak masyarakat internasional untuk mengeluarkan dana.
Dilansir TRT World pada Rabu (24/11), ada lima isu utama yang mencengkeram Afghanistan 100 hari setelah pengambilalihan Taliban. Pertama, adanya kejatuhan perawatan kesehatan di mana ribuan tenaga kesehatan (nakes) belum dibayar dalam enam bulan. Rumah sakit dan klinik juga tidak memiliki obat atau peralatan untuk merawat pasien setelah negara itu kekurangan bantuan asing.
Mengacu pada WHO, pada September 17 persen dari 2.300 lebih fasilitas kesehatan yang sebelumnya didukung oleh Bank Dunia berfungsi penuh, dua pertiga di antaranya kehabisan obat-obatan esensial. Banyak yang bahkan tidak tahu bahwa Covid-18 ada. WHO di Afghanistan mengatakan pada bulan lalu, tes dan vaksinasi Covid-19 telah menurun di negara yang dilanda perang itu sejak Agustus.
Kedua, memengaruhi situasi keamanan. Kelompok bersenjata ISIS-K telah melancarkan pemberontakan dengan beberapa serangan tingkat tinggi di negara tersebut. Kelompok tersebut telah melakukan serangkaian serangan bom bunuh diri, termasuk di bandara Kabul dan di dua masjid Syiah, yang telah menewaskan ratusan orang.
Menurut jaringan berita lokal Afghanistan, TOLO News, tujuh insiden keamanan besar telah terjadi di negara itu yang menyebabkan 630 kematian dan cedera. Analis mengatakan kelompok bersenjata itu berusaha mencegah Taliban mengonsolidasikan cengkeramannya di negara itu.
Isu ketiga yakni pengakuan internasional Taliban. Apa yang disebut Imarah Islam oleh Taliban ini telah mencari pengakuan internasional untuk pemerintahan baru, yang dipimpin oleh Mawlawi Hebatullah Akhundzada, pemimpin tertinggi kelompok itu sejak pengambilalihan mereka.
Pada September, PBB menolak permintaan Taliban agar utusannya Suhail Shaheen berpidato di Majelis Umum. Pengakuan ini sangat penting bagi negara karena keruntuhan ekonomi dan krisis kemanusiaan terus berlanjut. Analis mengatakan legitimasi global adalah satu-satunya titik pengaruh yang dimiliki komunitas internasional atas cara Taliban memerintah negara itu.
Berikutnya, permasalahan ada pada isu sekolah dan universitas. Ketika Taliban mengambil alih, sekolah ditutup untuk anak laki-laki dan perempuan. Pada September, Taliban mengizinkan anak laki-laki pergi ke sekolah dari kelas 6 hingga 12 dan guru laki-laki untuk mengajar.
Namun, anak perempuan tidak diizinkan pergi ke sekolah karena Taliban mengatakan ‘lingkungan yang aman’ perlu dibangun sebelum mereka dapat kembali. Keputusan Taliban itu menuai kritik tajam dari masyarakat internasional karena membatasi pendidikan untuk anak perempuan. Pekan lalu, pemerintah yang dikendalikan Taliban mengatakan 75 persen anak perempuan telah melanjutkan sekolah di seluruh negeri.
Isu terakhir yakni penutupan media. Sebanyak 257 outlet media telah ditutup termasuk media cetak, radio, dan televisi, menurut kelompok advokasi media di Afghanistan.
Lebih dari 70 persen pekerja media Afghanistan kini menjadi pengangguran atau meninggalkan negara itu setelah Kabul jatuh ke tangan Taliban. Daftar prinsip Imarah Islam baru-baru ini untuk operasi media yang mencakup pelarangan semua drama, sinetron, dan acara hiburan yang menampilkan wanita telah menimbulkan kekhawatiran.
Arahan tersebut juga mencakup aturan presenter berita wanita harus mengenakan jilbab di layar. Wartawan Afghanistan dan aktivis hak telah mengutuk ‘pedoman agama’.