Belum Divaksinasi Covid-19, Risiko Meninggal Naik 14x Lipat
Kasus rawat inap-kematian akibat Covid-19 didominasi orang yang belum divaksinasi.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus breakthrough infection, yakni saat Covid-19 mengenai orang yang sudah divaksinasi, memang bisa terjadi. Akan tetapi, bukan berarti vaksinasi sama sekali tidak memberikan manfaat.
Sebaliknya, riwayat vaksinasi dapat menurunkan risiko kematian akibat Covid-19. Direktur Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Rochelle Walensky MD mengatakan, orang-orang yang belum divaksinasi masih memiliki risiko terberat bila terpapar Covid-19.
Kelompok ini juga masih menyetir pandemi. Mereka menjadi penggerak dari banyaknya kasus perawatan di rumah sakit dan kematian akibat Covid-19.
"Tragisnya, (ini terjadi) pada waktu di mana kita memiliki vaksin yang bisa memberikan perlindungan luar biasa," jelas Walensky, seperti dilansir WebMD, Selasa (30/11).
Walensky mengatakan, orang yang belum divaksinasi memiliki risiko enam kali lebih besar untuk terkena Covid-19 dibandingkan orang yang sudah vaksinasi. Selain itu, mereka juga berisiko sembilan kali lebih besar untuk membutuhkan perawatan di rumah sakit dan berisiko 14 kali lebih besar untuk mengalami kematian akibat komplikasi terkait Covid-19.
Meski cakupan vaksinasi saat ini belum optimal, akan tetapi manfaatnya sudah mulai dapat dirasakan. Di Amerika Serikat contohnya, ada sekitar 69,5 persen populasi yang sudah menerima setidaknya satu dosis vaksin Covid-19 Sebanyak 59 persen populasi juga sudah divaksinasi lengkap dan 18,7 persen menerima booster vaksin.
Keberadaan vaksin Covid-19 ini dapat membuat situasi lebih terkendali di Amerika Serikat bila dibandingkan dengan tahun lalu. Oleh karena itu, pada tahun ini banyak orang yang bisa merayakan Thanksgiving dengan aman, berbeda dengan tahun sebelumnya.
Melihat manfaat vaksinasi, Walensky mendorong masyarakat untuk mengajak anggota keluarganya yang belum divaksinasi untuk mempertimbangkan kembali manfaat-manfaat vaksinasi ini. Vaksinasi juga sangat dianjurkan bagi orang-orang yang tinggal dengan kelompok berisiko.
"(Atau tinggal dengan) anak di bawah lima tahun yang belum bisa mendapatkan vaksinasi," kata Walensky.
Ancaman varian baru
Efektivitas dari vaksin yang sudah tersedia sejauh ini di dunia dipertanyakan karena berbagai varian baru dari Covid-19. Kekhawatiran itu semakin besar dengan adanya varian Botswana yang dinamai omicron oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Omicron telah dikategorikan sebagai "variant of concern" atau varian yang menjadi perhatian oleh WHO pada Jumat (26/11). Predikat itu ditetapkan karena tingkat mutasinya yang tinggi dan menyebar dengan cepat hanya dalam beberapa pekan.
Varian baru ini pertama kali dilaporkan di Afrika Selatan. Ada tanda-tanda penularan yang cepat di sana.
Selain itu, omicron juga menunjukkan kemampuan yang lebih besar dalam menghindari kekebalan tubuh, baik pada orang yang sudah divaksinasi Covid-19 atau terinfeksi secara alami. Beberapa negara, termasuk Amerika Serikat (AS), saat ini membatasi perjalanan dari Afrika Selatan dan tujuh negara lainnya karena kekhawatiran atas varian tersebut.
Dilansir NBC News, para ilmuwan masih harus melihat apakah omicron menimbulkan risiko gejala berat atau risiko kematian yang lebih besar, termasuk di antara orang-orang yang sudah divaksinasi. Namun, ilmuwan medis di Institut Nasional untuk Penyakit Menular di Afrika Selatan sebagai negara pertama yang melaporkan varian baru ke WHO mengatakan data itu tidak akan tersedia selama dua pekan ke depan atau lebih.
Sebelumnya, varian delta yang dikhawatirkan dapat menghindari vaksin dengan tingkat penularan yang tinggi, ternyata tidak demikian. Diharapkan bahwa omicron juga demikian.
"Bisa jadi kita tidak perlu memperbarui vaksinasi," jelas David Kennedy, yang mempelajari evolusi penyakit menular di Penn State University, AS.
Kennedy mengatakan, meski omicron telah menimbulkan kekhawatiran yang jelas berdasarkan sejumlah data terbatas dari Afrika Selatan dan banyak negara, masyarakat dunia tidak perlu panik terlebih dahulu. Masih banyak pengamatan yang harus dilakukan.
Lebih lanjut, Kennedy mengatakan bahwa secara historis, vaksinasi tidak secara signifikan dirusak oleh virus yang berkembang. Dengan omicron, faktor kuncinya adalah data konklusif yang menunjukkan apakah infeksi serius pada orang yang divaksinasi meningkat secara signifikan.
Deepti Gurdasani, ahli epidemiologi klinis di Queen Mary University of London, mengatakan bahwa sangat baik untuk mempersiapkan vaksin yang diperbarui. Tetapi, upaya itu paling efektif kalau dunia berhasil menahan penyebaran virus.
"Ada kemungkinan bahwa Pfizer akan membuat vaksin ini dalam waktu tiga atau empat bulan dan pada saat tersedia, ada varian baru yang dominan secara global," kata Gurdasani.
Karena itu, Gurdasani mengatakan bahwa pengembangan dan rekayasa ulang vaksin harus berjalan seiring dengan upaya untuk menahan penularan. Ini merupakan satu-satunya cara agar manusia dapat mengatasi adaptasi virus.