Apa Hukumnya Menolak Wasiat Perjodohan?
Pernikahan yang didasarkan perjodohan paksa akad pernikahannya rusak.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wasiat (pesan) adalah penyampaian keinginan pribadi secara sukarela, baik tertulis ataupun lisan, dari seseorang kepada pihak lain yang berlaku setelah orang tersebut wafat, baik keinginan itu berupa materi maupun sesuatu yang dianggap bermanfaat.
Para fuqaha berpendapat bahwa dalam keadaan normal, hukum wasiat itu adalah sunnah (dianjurkan), sedang melaksanakan isi wasiat itu hukum asalnya adalah wajib. Hal ini didasarkan pada firman Allah Swt. dalam surah al-Baqarah ayat 180 (yang maknanya): Diharuskan atas kamu, apabila seseorang di antara kamu kedatangan tanda-tanda maut, jika dia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak,dan karib kerabatnya secara makruf. Ini adalah keharusan atas orang-orang yang bertakwa.
Juga dalam hadis sahih, Rasulullah saw. bersabda: "Sungguh Allah Swt. berbaik kepadamu tatkala kamu akan menghadapi kematian untuk berwasiat sepertiga dari hartamu, sebagai tambahan terhadap amalan kamu" (HR al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah dan lain-lain).
Ada beberapa ketentuan terkait wasiat ini. Ketentuan bagi pewasiat, antara lain: harus cakap bertindak hukum, wasiat dilakukan secara sadar dan sukarela, jika menyangkut harta maka pewasiat harus tidak mempunyai utang sebesar harta yang diwasiatkan.
Kemudian ketentuan bagi penerima wasiat, antara lain: harus benar-benar ada penerima dengan identitas yang jelas, harus cakap/layak menerima, bukan pembunuh orang yang berwasiat, dan bukan kafir harbi (kafir yang memusuhi Islam). Sedangkan ketentuan yang terkait objek wasiat (yang diwasiatkan), antara lain: harus berupa sesuatu yang bermanfaat, harus bisa menjadi hak milik, harus merupakan hak pribadi orang yang berwasiat, harus untuk tujuan kebaikan, dan jika berupa harta maka yang diwasiatkan tidak lebih dari sepertiga harta pewasiat.
Bagaimana kalau ada orang tua yang berwasiat agar putrinya menikah dengan seseorang yang dikehendakinya (pewasiat) setelah dia meninggal, sedang putrinya menolak perjodohan tersebut?
Jumhur fuqaha berpendapat apabila pernikahan itu dilaksanakan atas dasar paksaan salah satu pihak, akad pernikahannya fasid (rusak), tidak sah. Hal ini didasarkan pada sebuah riwayat dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Umatku tidak dibebani hukum apabila mereka tersalah, lupa atau dalam keadaan terpaksa" (HR. Ibnu Majah dan al-Baihaqi).
Terkait masalah ini, ada pelajaran berharga dari kejadian zaman Nabi saw. Dari 'Aisyah ra. diceritakan bahwa ada seorang gadis menghadap beliau dan mengadu: "Ayah saya telah menikahkan saya dengan anak saudaranya untuk menutupi kejelekannya, pada hal saya tidak mencintainya." Lalu 'Aisyah r.a. menjawab: "Duduklah, sambil menunggu Rasulullah datang." Setelah Rasulullah saw. datang, 'Aisyah menceritakan masalah gadis tersebut kepada beliau. Maka Rasulullah saw. mengutus seseorang untuk memanggil ayah gadis itu agar menghadap beliau. Kemudian Rasulullah saw. menyerahkan permasalahan kepada gadis tersebut, apakah ia akan menolak atau menerima perkawinannya. Maka gadis itu berkata:
"Ya Rasul Allah, saya setuju saja dengan apa yang telah dilakukan ayah saya. Akan tetapi, saya ingin tahu apakah wanita berhak menunjukkan keberatannya dalam masalah pernikahan yang diinginkan ayahnya" (HR an-Nasa'i).
Dari riwayat tersebut dapat dipahami bahwa betapa Rasulullah saw. begitu bijak memberi ruang kemerdekaan berpendapat dan kebebasan memilih pada gadis yang mendapat tekanan ayahnya. Entah karena apa tapi ternyata gadis tersebut akhirnya memilih menuruti kemauan ayahnya.
Yang tersurat bahwa gadis tersebut hanya ingin dihargai uneg-unegnya (isi hatinya). Pertanyaan besarnya: "Bagaimana andaikata gadis tersebut tetap tidak mau dinikah kan dengan pilihan ayahnya?" Sesuai akhlak mulia Rasulullah saw., adanya beliau memberi kemerdekaan berpendapat dan kebebasan memilih kepada gadis tersebut, maka diyakini beliau akan menasihati ayah gadis tersebut untuk membatalkan rencana menikahkan anaknya dengan lelaki yang tidak dicintai anaknya.
Dalam menentukan calon untuk anaknya, orang tua tidak boleh memaksakan kehendak, apalagi melalui wasiat, melainkan harus mengomunikasikannya dengan anak secara baik. Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Janda tidak boleh dinikahkan sebelum diminta pendapatnya, dan gadis tidak boleh dinikahkan sebelum diminta persetujuannya. Para sahabat bertanya: ya Rasulallah, bagaimana persetujuannya? Beliau menjawab: diamnya." (HR al-Bukhari, Muslim dll).
Dari hadis ini dapat dipahami bahwa anak mempunyai hak "setuju" atau "tidak setuju", yang berarti tidak setuju (menolak) tawaran orang tua di perbolehkan, tidak dianggap durhaka, tidak menyalahi ketentuan birrul walidain (berbakti kepada orang tua), karena jodoh termasuk "hak asasi" anak yang tidak boleh diintervensi secara semena-mena oleh siapa pun, termasuk oleh orang tua.
Anak memiliki kemerdekaan berpendapat dan kebebasan memilih calon yang disukainya sesuai ketentuan syariat. Bahkan jika terpaksa, maka anak boleh menolak calon yang dipaksakan orang tuanya, dengan cara yang baik dan sopan.
Mengenai wasiat perjodohan, dalam perspektif fiqih formal, wasiat tersebut tidak sah dan tidak berlaku, karena objek yang diwasiatkan adalah orang/manusia yang tidak bisa menjadi hak pewasiat. Objek wasiat mempunyai hak menentukan sendiri pilihannya yang tidak bisa dan tidak boleh diintervensi siapa pun, walau melalui wasiat sekalipun.
Andai sudah ada kesepakatan antara pewasiat (orang tua) dengan objek wasiat (seseorang pria) pun, tetap tidak dapat diberlakukan sebagai wasiat karena penerima wasiat (putrinya) mempunyai hak pilih sendiri dengan siapa nanti akan menikah, sehingga dia bisa dan boleh menolak wasiat orang tuanya.
Tetapi, jika semua pihak (pewasiat, penerima wasiat, dan objek wasiat) sepakat dengan isi wasiat perjodohan tersebut, yakni agar putrinya kelak menikah dengan lelaki pilihan orang tuanya, maka wasiat demikian diperbolehkan dan dapat dilaksanakan. Hal ini karena wasiat itu jenis muamalah dan prinsip muamalah adalah al-'aqdu wal mashlahah (akad dan maslahah), sedang inti akad adalah kesepakatan ('an tarâdhin/saling rela).
Ada kaidah ushul fiqih yang menjadi naungan masalah muamalah seperti ini, yaitu al-Ashlu fil asy-ya al-ibâhah hattâ yadullad dalilu 'alat tahrim (pada dasarnya segala sesuatu itu diperbolehkan sepanjang tidak ada dalil yang melarangnya). Wallâhu a'lam.