Uganda, Bandara dan Jerat Utang China

Pemerintah Uganda dinilai telah ceroboh dalam mengelola utang dari China.

Presiden Uganda Yoweri Museveni
Rep: Rizky Jaramaya Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, KAMPALA -- Kekhawatirkan akan utang Uganda terhadap China yang cukup besar memicu spekulasi bahwa mereka akan kehilangan Bandara Internasional Entebbe jika gagal membayar pinjamannnya ke Beijing. Semua berawal saat, Uganda pada 2015 meminjam 207 juta dolar China dari China melalui Export-Import Bank of China (Exim Bank).

Dalam proses peminjaman tersebut, ada beberapa persyaratan yang diajukan. Di antaranya, pengembalian utang dalam jangka waktu 20 tahun dengan tingkat bunga 2 persen. Pemerintah Uganda  dilaporkan menggunakan Bandara Internasional Entebbe dan beberapa aset nasional lainnya sebagai jaminan dalam kesepakatan pinjaman tersebut. Dengan demikian, bandara Entebbe berisiko diambil alih oleh China.

Baca Juga



Setelah menyadari hal ini, Uganda mengirim delegasi ke Beijing pada awal tahun untuk mencoba merundingkan kembali persyaratan pinjaman tersebut. Sayangnya, China menolak untuk mengubah persyaratannya. Sehingga, jika Uganda gagal membayar pinjaman pada saat jatuh tempo, maka mereka harus kehilangan bandara Entebbe yang berharga.

Seperti dilansir Business Insider Africa  pada  Kamis (9/12), pemerintah Uganda telah melakukan tindakan ceroboh dalam mengelola utang senilai 207 juta dolar AS.  Menteri Keuangan Uganda, Matia Kasaija, harus meminta maaf kepada senat karena telah salah langkah dalam mengelola pinjaman.

Negara-negara Afrika terkenal kerap berutang dari pemberi pinjaman multilateral dan negara-negara kaya. Namun sebagian besar negara Afrika tidak pernah memanfaatkan atau mengelola pinjaman utang dengan baik.

Uganda juga masuk ke dalam daftar negara-negara miskin yang berutang dalam jumlah besar pada Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan negara kaya lainnya.

Secara teknis, Uganda belum gagal membayar utang ke Cina. Namun semua pihak khawatir tentang kemungkinan pengambilalihan Bandara Internasional Entebbe, karena Presiden Yoweri Museveni tampaknya tidak memiliki rencana untuk membayar hutang negara. Sementara, China telah membantah laporan bahwa mereka dapat mengambil alih bandara internasional Uganda, jika pemerintah di Kampala gagal membayar pinjaman.

"Tuduhan jahat ini tidak memiliki dasar faktual, dan bermaksud buruk untuk mendistorsi hubungan baik China dengan negara-negara berkembang, termasuk Uganda," kata juru bicara Kedutaan Besar Cina di Kampala, dilansir NDTV.

Pernyataan itu muncul menyusul laporan di surat kabar Daily Monitor bahwa, Uganda dapat menyerahkan Bandara Internasional Entebbe jika gagal membayar pinjaman dari Beijing.

Laporan tersebut menyebabkan kegemparan di Uganda. Di media sosial beredar foto-foto editan, jika bandara Entebbe diambil oleh China. Beberapa foto menunjukkan bendera China di atas bandara. Sementara foto yang beredar lainnya menunjukkan sebuah spanduk bertuliskan "Selamat datang di Bandara Internasional Entebbe China".

 "Tidak ada satu pun proyek di Afrika yang pernah disita oleh Cina karena gagal membayar pinjaman," kata juru bicara Kedutaan Besar China.

Otoritas Penerbangan Sipil Uganda juga membantah laporan tersebut. Mereka mengatakan, pemerintah tidak dapat menyerahkan aset nasional dengan cara seperti itu. "Kami telah mengatakannya sebelumnya dan mengulanginya bahwa itu tidak terjadi dan itu tidak akan pernah terjadi," kata Otoritas Penerbangan Sipil Uganda.

Pekerjaan ekspansi Bandara Entebbe oleh Perusahaan Konstruksi Komunikasi milik negara China dimulai pada Maret 2016. Proyek ini diharapkan selesai pada akhir 2022.

Beijing telah lama dikritik karena terlalu banyak memberikan pinjaman ke negara-negara miskin, tanpa meneliti kemampuan mereka untuk membayar kembali. Pinjaman China yang cukup besar kepada negara-negara miskin Afrika, telah memicu kekhawatiran tentang jebakan utang. China membantah bahwa utang mereka ditujukan untuk menjerat negara Afrika.

China melihat peluang

Sementara itu, Presiden Uganda Yoweri Museveni akan menandatangani sejumlah kesepakatan dengan pemberi pinjaman sektor swasta China di sejumlah sektor, seperti pengolahan pertanian dan pupuk, pengolahan mineral, serta tekstil.

Museveni mengatakan, perusahaan Barat tidak melihat peluang besar untuk berinvestasi di Uganda. “Perusahaan-perusahaan Barat telah kehilangan kacamata mereka. Mereka tidak melihat peluang. Tetapi orang China melihat peluang, mereka datang untuk  mengetuk," kata Museveni.

Entitas dan perusahaan swasta China telah lama menjadi kekuatan pendorong investasi di Afrika. China berinvestasi senilai ratusan miliar dolar di Afrika sebagai bagian dari Belt and Road Initiative (BRI) yang diinisiasi Presiden Xi Jinping.

Menurut Otoritas Investasi Uganda, China menempati peringkat ketiga di Afrika dalam hal investasi asing langsung (FDI)  dalam beberapa tahun terakhir. Sebuah penyelidikan parlemen pada bulan Oktober menyatakan bahwa, China telah memberlakukan persyaratan cukup berat ke Uganda.

Salah satunya, menjadikan bandara internasional satu-satunya di Uganda sebagai jaminan utang. Museveni dengan tegas membantah menggunakan bandara sebagai jaminan.  “Saya tidak ingat menggadaikan bandara untuk apa pun,” kata Museveni, sembari menambahkan bahwa Uganda akan membayar utangnya ke China.

Pemerintahan Museveni, telah mendapatkan jalur kredit besar dari China selama dekade terakhir. Dana ini digunakan untuk membiayai program pembangunan infrastruktur dan menopang dukungan politik.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler