Jilbab Voice of Baceprot, Musik Metal, Hingga Kadal Gurun: Nasib Paranoid Islamofobia

Masihkah perlu melestarikan sikap Islamophobia?

ROL/Havid Al Vizki
Grup musik Voice of Baceprot (VoB)
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Pada akhir 2010, di sebuah acara jumpa dalam rangka penyelenggaraan International Conference of Islamic Scholar (ICIS) --Konferensi Internasional Cendekiawan Muslim Dunia--yang digelar Nahdlatul Ulama di Hotel Hilton Jakarta, seorang wartawati media terkemuka Ibu Kota dengan bersemangat mengangkat tangan sembari mengajukan pertanyaan kepada mendiang Dr Nurchlish Madjid yang saat itu bertidak sebagai panelis. Dia berkata kurang lebih begini:

"Bagaimana ini sih umat Islam Indonesia ya, Cak Nur? Kok makin lama makin kearab-araban? Lihat pakaian mereka yang laki gemar memakai jubah dan berjenggot. Yang perempuan berjilbab seperti orang Arab. Musiknya pun musik Arab atau musik berbahasa Arab. Apakah itu pertanda umat Islam makin tidak toleran?" kata wartawati itu dengan ketus.

Mendengar pernyataan itu, Nurcholis menanggapi dengan santai sembari tersenyum. "Itu Anda saja tidak jeli. Yang kearab-araban siapa? Para kiai NU dari dulu suka pakai gamis, berjenggot, dan serban. Mereka senang juga sholawatan dan mendengar syair lagu Arab Umm Khultum dari Mesir yang legendaris itu. Lha yang Muhammadiyah malah beda lagi. Mereka malah lebih suka berpakaian Barat, pakai setelan jas, selera musiknya model Barat. Wajahnya klimis tak berjenggot. Lihat saja gaya musiknya Bimbo dan Ebiet G Ade. Jadi begini, kalau Mbak kalau terus-terusan percaya dengan pikiran seperti itu, Anda bisa kebolak-balik sendiri ketika memahami Islam Indonesia," kata Nurcholis dengan nada tenang.

Dibantah statement-nya secara telak oleh Nurcholish, sekilas wajah dia mendadak lesu. Sikapnya yang menggebu kemudian tak muncul lagi. Jawaban itu tampaknya mampu membuka fakta akan begitu banyak salah paham dirinya atas situasi umat Islam masa kini. Pandangan peyoratif kepada Islam yang terekam dalam perbincangan sekilasnya sebelum mengangkat tangan bicara untuk bertanya kini berantakan. Umat Islam yang di matanya tampak masih dipandang layaknya hidup dalam zaman kolonial yang serbamiskin dan pernuh prasangka bahwa budaya Islam rendah, orangnya jorok karena sindrom sebutan santri gudik, haji karena kaya raya sebab pelihara tuyul, pakaiannya tak modis karena cuma 'ubel-ubel' kain di badan dan kepala, dan musiknya hanya 'upruk ubrung' tetabuhan ribut rebana dan kasidahan belaka.

Harus diakui memang belum banyak yang paham bila terjadi perubahan besar dalam arus musik Indonesia setelah datangya era kemerdekaan. Ini sama halnya dengan dunia sastra yang pada dekade 1970-an juga masuk genre sastra sufi yang dipelopori Abdul Hadi WM, Taufiq Ismail, Kuntowijoyo, dan lainnya. Genre ini mengakhiri gaya kegilaan sekaligus kegelisahan individualis barat yang pada awalnya di Indonesia digagas Chairil Anwar.

Di musik generasi musik moderen Islam kala itu mulai muncul diawali dengan hadirnya Bimbo. Lalu makin eskplosif dengan hadirnya Ebiet G Ade yang kala itu mengawali karier menyanyinya sebagai rekan duet Emha Ainun Nadjib. Bahkan, pada sampul kaset pertama Ebiet, Camelia I, Ebiet berani menyatakan diri sebagai musisi Muslim. Ini masuk akal karena Ebiet dan Emha lahir dari hasil pendidikan Muhammadiyah, SMA Muhammadiyah I Yogyakarta. Pada masa dua dekade berikutnya, langkah ini diam-diam diikuti para adik angkatan sekolahnya yang juga mampu membuat membuat band yang top, yakni Shiela On7. Dan dalam periode ini pula harus dicatat ada peran sosok yang tetap menjadi raja musik bergenre dangdut yang hingga kini belum tergantikan, yakni Oma Irama. Beda dengan Ebiet, Oma datang dari latar belakang budaya NU dan santri yang kental.

Dan menyelingi itu sebenarnya juga ada grup musik legendaris yang semuanya terdiri dari kaum santriwati dari kalangan Nahdlatul Ulama, yakni Nasida Ria yang berasal dari Semarang. Lagu awak grup kasidah ini bahkan ada yang lestari sampai sekarang: yakni lagu 'Perdamaian'. Lagu lainnya dari Nasida Ria yang abadi dan menjadi pertanda zaman adalah lagu yang bercerita mengenai kedahsyatan Gunung Galunggung di Tasikmalaya yang pada 1982 tiba-tiba meletus. Ini persis idenya dengan lagu 'Berita Kepada Kawan'-nya Ebiet G Ade yang menjadi pertanda terjadinya bencana gas beracun dari kawah Sinila yang berada di sekitaran pegunungan Dieng. Grup Nasida Ria ini makin punya nilai plus karena semua awaknya yang santriwati itu mampu memainkan instrumen musik modern dengan piawai.

Setelah itu, generasi musikus Muslim dan karya lagu bergenre 'Islami' muncul bak air bah yang tak bisa ditahan. Bahkan musik dangdut yang digagas Rhoma Irama hampir bisa diidentikkan dengan musik yang berbasis masa Islam. Mereka kini semakin eksis di dunia hiburan, meski terlihat ada upaya untuk 'menyekulerkannya' pada beberapa waktu dekade terakhir ini dengan menggencarkan bahwa dangdut itu musik erotis yang penuh goyangan pantat dengan beragam sebutan.

 

 

 

Dan yang paling terkini dari perkembangan musisi dan musik Islam adalah dengan hadirnya tiga santriwati yang dahulu merupakan murid dari sekolah madrasah. Gaya panggung dan hasil kreasi grup yang mulai dikenal publik selama tiga tahun terakhir ini dengan nama VoB (Voice of Baceprot) juga unik. Penampilan mereka mengingatkan pada gaya Nasida Ria yang juga tampil dengan tetap mengenakan jilbab dan piawai bernyanyi serta 'puguh' memainkan alat musik. Hebatnya, beda dengan Nasida Ria yang berasal dari 'anak sedikit perkotaan', santriwati VoB ini semuanya merupakan 'anak yang betul-betul berasal dari udik atau kampung dari pegunungan kawasan pedalaman Garut. 

Nah, yang membuat geger dunia musik Indonesia saat ini adalah karena jenis musik yang dimainkan tiga personil VoB: musik metal atau trash metal. Mereka ke luar dari arus musik mendayu-dayu dan berwajah tradisional-agamis karena memainkan 'lagu cadas'. Dan sisi yang tak lazim ini makin seru karena mereka hari-hari ini tengah melakukan tour konser di luar negeri, yakni Eropa. (Kalau tur di luar negeri Eropa sebenarnya pernah juga dilakukan Nasida Ria di Jerman atau Oma Irama yang berangkat konser ke Jepang dan Amerika Serikat).

Keterangan foto: Grup musik Voice Of Baceprot (VoB) - (ROL/Havid Al Vizki)

 

Dan memang, meski belum sempat mencetak lagu hits di Eropa seperti yang dilakukan Achmad Albar dengan grup Clover Leaf-nya selama tinggal di Belanda pada dekade awal tahun 1970-an, atau Anggung C Sasmi di Prancis yang mampu mencetak hits dengan lagu 'Snow in Sahara', capaian sukses ketiga mantan anak sekolah madrasah dari pedalaman Garut tersebut patut diacungi dua jempol. Mereka setidaknya mampu memberikan sedikit gambaran baru bahwa wajah dan pratik Islam di Indonesia tak seperti yang dibayangkan orang Eropa yang kebanyakan mengidap Islamophobia. Jilbab yang kadang dipandang mereka sebagai lambang pengekangan kebebasan perempuan dalam Islam, menjadi tak terbukti. 

Jadi, apa yang dilakukan VoB sama persis dengan apa yang disinyalir duta besar Inggris di Jakarta yang berdarah Pakistan bahwa Islam di Indonesia beda dengan yang lainnya. "Perempuan Muslim di Indonesia jauh lebih bebas. Berbeda dengan Islam di negara lain, di sini para perempuan berjilab bebas naik sepeda motor di mana-mana,'' katanya pada suatu jamuan acara buka puasa beberapa tahun silam.

Uniknya, berbeda dengan kalangan rakyat biasa yang menganggap tak ada kesenjangan antara ajaran Islam dalam praktik kehidupan sehari-hari, kalangan yang kerap disebut pemimpin atau kelompok yang tengah berkuasa begitu khawatir --bahkan phobia dengan Islam. Islam yang memang punya identitas budaya yang dekat dengan Arab, selalu dianggap pejoratif dan berusaha dikecilkan artinya. Maka berhamburlah sebutan 'Kadal Gurun', Tuhan bukan orang Arab, haji dan umrah hanya membuat kaya Arab Saudi, berdoa tak perlu pakai bahasa Arab, dan lainnya. Yang makin mengelus dada mereka yang kerap menyebutkan itu sering mengaku dirinya sebagai santri atau setidaknya lahir dari keluarga yang berlatar pendidikan Islam, baik NU, Muhammadiyah, atau lainnya.

Atas situasi phobia ini ujung-ujungnya bisa menjadi teraba jadinya bahwa perlakuan kebijakan polarisasi era kolonial Belanda yang digagas Snouck Hurgronje hingga dekade kedua tahun 2000 ini masih tetap saja lestari: Kalau Islam hanya sebagai sekedar sebagai laku ibadah harus didukung, tapi kalau sudah jadi bentuk gerakan sosial/politik harus dimatikan!

Anggapan yang berada di bawah sadar itulah yang kini mulai makin terkelupas dengan hadirnya VoB. Mereka membuktikan bila masih bisa menjadi sosok perempuan Muslim yang baik meski sudah mengenyam konser lintas benua dan fasih menyanyikan lagu bukan berbahasa Arab atau lagu reliji ala Maher Zain. Yang lebih pasti, selain mereka sangat diyakini fasih menyanyikan lirik lagu trash metal, mereka pasti fasih melafalkan ayat Alquran. Ini beda dengan mereka yang kini sibuk mengaku santri itu yang ternyata ketika bergaya mencoba mengucapkan penggalan ayat Alquran lidahnya mendadak kelu kepayahan. Tajwid dan mahrajnya kacau balau serta ucapannya terbolak-balik tak keruan.

Akhirnya, ada kutipan dari musikus sekaligus maestro piano sekaligus budayawan kondang, Jaya Suprana, atas penampilan VoB saat melakukan tour di Eropa. Jaya Suprana yang non-Muslim itu memberikan komentar begini:

"Tiga santriwati dari pedalaman Garut tersebut membuktikan fakta tak terbantah bahwa pada hakikatnya Islam merupakan agama yang membuka sanubari seluruh umat manusia untuk terbuka pada keindahan seni-budaya sebagai bagian utama peradaban umat manusia di planet bumi."

Senada dengan Jaya Suprana politisi seperti Muhaimin Iskandar pun langsung nekad mengusulkan agar VoB diundang untuk melakukan konser di Istana Negara. Peluang ini tampaknya terbuka lebar karena Presiden Joko Widodo suka akan musik trash metal.

Maka, bila itu sampai terjadi maka di kompleks Istana Negara nanti akan terdengar lagu hits dunia semacam Enter Sandman, dari Metallica yang bercerita tentang kisah kedatangan monster manusia pasir: Enter Sandman.

 
Say your prayers, little one


Don't forget, my son
To include everyone
Tuck you in, warm within
Keep you free from sin
'Til the sandman, he comes

 
(Ucapkan doamu, si kecil
Jangan lupa, anakku
Untuk memasukkan semua orang
Aku memasukkanmu, hangat di dalam
Bebaskan kamu dari dosa
Sampai Sandman (manusia pasir) dia datang)
 
Wah... kalau begitu siapa manusia pasir itu? Apa dia manusia dari padang pasir? Eh, apa dia sejenis kadal gurun?
 
 

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler