Jelajah Negeri Seribu Bukit via Bandara Blangkejeran
Seorang teman di Medan menceritakan perjalanannya ke Gayo Lues di Aceh.
Seorang teman di Medan menceritakan perjalanannya ke Gayo Lues di Aceh. Katanya ada urusan bisnis kopi sehingga membuat ia kerap ke sana. Bilamana tidak membawa banyak barang, ia memilih pakai pesawat. Sebaliknya jika harus bawa barang, mau tak mau lewat darat.
Lewat darat jelas menguras energi. Dari Medan ke Blangkejeren membutuhkan waktu 8 hingga 9 jam. Sementara itu, Blangkejeren – Banda Aceh butuh 12 jam perjalanan. Banyak jalanan berkelok, naik turun cukup tajam. Maklumlah, Gayo Lues memang daerah berbukit. Bahkan banyak pula yang menyebutnya sebagai "Negeri Seribu Bukit".
Bandingkan jika memanfaatkan moda transportasi udara, Medan ke Blangkejeran ditempuh 60 menit saja, sedangkan Banda Aceh ke Blangkejeran 1 jam 15 menit.
O ya, Blangkejeran ini merupakan ibu kota Kabupaten Gayo Lues. Terletak pada garis lintang 03° 40’26” – 40° 16’55” LU dan garis bujur 96° 43’24” – 97° 55’24” BT, Blangkejeran ini mempunyai luas wilayah 5.549,91 km². Blangkejeran ini berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Aceh Timur dan Aceh Tamiang untuk sisi utara. Sedangkan sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tamiang dan Kabupaten Langkat Prov. Sumatera Utara. Lalu sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tenggara, Kabupaten Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya. Lantas sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Aceh Selatan.
Nah di Blangkejeran ini terdapat sebuah bandara. Namanya Bandara Blangkejeran. Dulu masyarakat menyebutnya Bandara Seunubung. Bahkan sekarang ada beberapa pihak menamakan sebagai Bandara Patiambang. Penamaan ini merujuk kepada nama kerajaan masa lalu yang ada di Gayo Lues.
Berdasarkan laman sultansinidonesieblog, pada masa Kerajaan Sultan Iskandar Muda yang kemudian diadopsi oleh Administrasi Pendudukan Belanda di Aceh, daerah Gayo dan Alas secara resmi dimasukkan ke dalam wilayah administratif Aceh. Wilayah Gayo dan Alas dibagi atas beberapa daerah yang disebut Kejurun, walaupun jauh sebelumnya telah hidup dan berkembang sistem pemerintahan lokal Reje dan Reje Cik di Gayo Lues, di bawah kepemerintahan Kerajaan Linge.
Daerah Gayo dan Alas dibagi atas delapan Kejurun. Enam di Gayo dan Dua di Tanah Alas. Di Gayo yaitu Kejurun Bukit, Linge, Syiah Utama, Petimang (dibaca: Patiamabang), Bebesen dan Abuk; Dan di Tanah Alas, Kejurun Batu Mbulan dan Bambel. Kejurun Patiambang berkedudukan di Penampaan, dengan luas daerah seluruh Gayo Lues.
Namun begitu nama bandara masih menggunakan Blangkejeran, jika mengacu pada Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 69 tahun 2013. Begitupun di International Air Transport Association (IATA) atau Asosiasi Transportasi Udara Internasional, bandara ini juga masih terdaftar dengan three code of letter GYO.
Bermula Penanggulangan Bencana
Melansir laman dishub.acehprov.go.id, Bandara Blangkejeran ini bermula dari upaya memudahkan akses penanggulangan bencana. Pertimbangan akses melalui jalur darat begitu sulit, maka pada tahun 2008 Badan Rehabilitasi dan Rekonsiliasi (BRR) NAD-Nias membangun bandara yang saat itu masih berupa airstrip. Bandara ini rencananya akan berfungsi sebagai persiapan penanggulangan bencana di wilayah Gayo Lues.
Dalam perkembangannya, masyarakat pun butuh transportasi udara. Dari sinilah muncul inisiatif Pemerintah Kabupaten Gayo Lues mengembangkan bandara. Sebagai langkah awal adalah membebaskan lahan di sekitar bandara. Setelah itu, dibangunlah sisi udara maupun sisi darat. Seperti landasan pacu, apron, dan taxiway. Sedangkan pada sisi darat, Pemkab Gayo Lues membangun terminal penumpang darurat, gedung PKP-PK, rumah tipe 45 sebanyak 2 Unit, dan peralatan komunikasi Air to Ground AFIS.
Bandara ini diserahkan ke Dirjen Perhubungan Udara pada tahun 2015. Sejak saat itu, bandara ini dikelola oleh Satuan Pelaksana Bandara Blangkejeran di bawah Unit Pelayanan Bandar Udara (UPBU) Bandara Rembele, Bener Meriah.
Sejak 2015 pula bandara ini telah melayani penerbangan perintis. Kala itu penerbangan perintis perdana melayani rute Medan – Gayo Lues dan Gayo Lues – Banda Aceh masing-masing 2 kali seminggu. Hingga saat ini bandara ini masih melayani kedua rute tersebut.
Namun jam operasional terbatas karena angin serta cuaca menjadi tantangan tersendiri bagi penerbangan di bandara ini. Kondisi cuaca dapat berubah setiap saat bahkan dalam hitungan menit. Oleh karena itu, penerbangan dari dan ke bandara ini selesai sebelum pukul 14.00 WIB setiap harinya.
Sekarang, Bandara Blangkejeren sangat membantu mempermudah akses transportasi masyarakat, baik untuk menuju ke Gayo Lues maupun keluar. Banyak masyarakat menggunakan jasa penerbangan perintis di bandara ini karena aksesnya yang cepat, biaya terjangkau, serta kemudahan interkoneksi dengan maskapai lain untuk penumpang transit, baik di Medan (Bandara Internasional Kualanamu) maupun di Banda Aceh (Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda).
Masyarakat memanfaatkan jasa transportasi ini untuk tujuan yang beragam. Di antaranya untuk urusan kepemerintahan bagi para pegawai pada institusi pemerintah, kegiatan pendidikan bagi para mahasiswa maupun tenaga pengajar di kampus Universitas Syiah Kuala Gayo Lues, dan silaturahim sanak saudara.
Potensi Gayo Lues
Bicara potensi Gayo Lues tentu tak bisa dipisahkan dengan kopi. Bagi warga di Dataran Tinggi Gayo, Aceh, tempat kopi ini ditanam sejak 1918, kopi arabika itu bukan sekadar rasa, melainkan warisan jiwa. Di bebukitan Gayo, kopi menjadi komoditas yang menghidupi. Petani kopi tersebar di tiga kabupaten, yakni Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues. Mereka bilang begini : ”Maman ilang maman ijo, beta pudaha, beta besilo". Ya, siapa pun orang di Gayo tak akan pernah lepas hidupnya dari kopi pada awalnya.
Kembali ke teman asal Medan tadi. Menurut dia, keistimewaan kopi arabika gayo adalah rendah asam, aroma wangi, dan rasa gurih. Dengan cita rasanya itulah, sejak dahulu, kopi gayo melanglang buana ke pasar mancanegara. Tanah yang tak asam dan ketinggian lahan yang rata-rata di atas 1.200 meter di atas permukaan laut membuat kopi gayo bercita rasa berbeda.
Potensi kopi inilah yang membuat orang hilir mudik ke Blangkejeran dan sekitarnya. Keberadaan bandara membantu akses hilir mudik tersebut. Penerbangan perintis membuat akses kian mudah saja.
Di Gayo Lues juga banyak tempat yang berpotensi dikembangkan menjadi destinasi wisata. Teman tadi menyebut beberapa tempat, seperti Kedah. Ketika ia trekking menyusuri rain forest di Kedah, hanya berjalan selama satu jam perjalanan saja bisa menjumpai orangutan.
Kedah adalah sebuah kawasan wisata di Taman Nasional Gunung Leuser yang terletak di Desa Penosan Sepakat Kecamatan Blangjerang Kabupaten Gayo Lues Provinsi Aceh, yang didominasi oleh pemandangan sawah dan pegunungan hutan pinus alami. Kedah merupakan pintu masuk ke jalur pendakian dan akses terakhir kendaraan sebelum trekking ke hutan atau mendaki Gunung Leuser. Desa ini berjarak 15 km atau 30 menit dari Blangkejeren. Udara yang sejuk dan dingin khas lereng pegunungan menambah daya tarik tempat ini. Luas zona pemanfaatan Jalur Pendakian Gunung Leuser sekitar 589,51 Ha. Zona pemanfaatan pendakian Gunung leuser secara pengelolaan berada di Resor Kedah, SPTN Wilayah III Blangkejeren BPTN Wilayah II Kutacane.
Taman Nasional Gunung Leuser dan area di sekitarnya dikenal dengan nama Kawasan Ekosistem Leuser yang menjadi Situs Warisan Dunia UNESCO. Ada sekitar 130 spesies dapat diidentifikasi di Taman Nasional Gunung Leuser yaitu: harimau sumatera, gajah, badak, siamang, kera, macan tutul, reptil, ikan, dan juga 325 spesies burung.
Bilamana potensi wisata bisa dikembangkan, semisal adventures tourism, niscaya Bandara Blangkejeran bisa lebih hidup lagi. Bisa saja penerbangan komersial bermunculan demi melayani wisatawan. Kita tunggu saja gairah wisata Gayo Lues. ( yh / apron.idn )