Kendala Para Korban Menurut Risma dan Terpenuhinya Syarat Hukuman Kebiri Herry Wirawan

Mensos Tri Rismaharini mengaku telah menemui langsung para korban Herry Wirawan.

blogspot.com
Korban perkosaan (ilustrasi).
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Muhammad Fauzi Ridwan, Febrianto Adi Saputro, Antara

Kasus dugaan perkosaan oleh Herry Wirawan terhadap belasan santriwati di Kota Bandung yang terungkap pekan lalu telah menyisakan trauma mendalam bagi para korban. Meski demikian, para korban tetap berkeinginan melanjutkan sekolah.

Hal itu diungkapkan oleh Menteri Sosial Tri Rismaharini yang menyatakan telah menemui langsung para korban Herry Wirawan. Menurut Risma, belasan korban tersebut tidak memiliki rapor apalagi ijazah.

"Kami sudah bertemu beberapa korban dan rencana tindak lanjutnya, mereka kepingin apa mereka masih ada barrier untuk traumanya masih ada sehingga kami menampung apa keinginan mereka dan beberapa di antaranya pengin sekolah," kata Risma pada Kegiatan Atensi Bimbingan Vokasional dan Kewirausahaan Keterampilan Kerajinan Kulit di BBPPKS Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Senin (13/12).

"Sekarang kami coba bagaimana mengakseskan sekolah mereka karena mereka tidak punya ijazah atau rapor, tidak ada. Nanti kami teruskan trauma healing. Saya juga minta di hypnotherapy tapi apa namanya yang paling penting jangan sampai kemudian memutus harapan mereka," imbuh Risma.

Terkait dengan pelaku, ia menyerahkan sepenuhnya kepada penegak hukum. Namun, ia menekankan kepada aparat penegak hukum bahwa pelaku telah membunuh masa depan anak-anak.

Baca Juga



"Kami serahkan ke proses hukum saya berharap ini membunuh masa depan anak bukan hanya membunuh hidupnya. Dia masih harus melanjutkan hidup maka saya minta pak sekjen untuk kita bisa diskusikan aparat penegak hukum bukan hanya sekedar si korban tapi bagaimana anak-anak ini. Jangan sampai anak-anak ini kemudian sekolah di-bully dan sebagainya," katanya.

Herry Wirawan ditahan di Rutan Kebonwaru, Kota Bandung sejak 28 September lalu. Ia saat ini sudah menjalani enam kali masa persidangan di Pengadilan Negeri Bandung secara daring pada masa pandemi Covid-19.

"Biasa-biasa saja (orangnya) enggak ada gimana-gimana kita baru tahu setelah viral. Tahanan kita samakan haknya," ujar Kepala Rutan Kebonwaru Riko Stiven saat dihubungi melalui sambungan telepon, Senin (13/12).

Pada saat masuk ke Rutan Kebonwaru, ia mengatakan pelaku terlebih dahulu diperiksa kondisi kesehatan termasuk tes swab dan isolasi selama 14 hari. Sejauh ini, kata Riko, pihaknya tidak melihat perilaku menyimpang dari Herry Wirawan selama berada di tahanan.

"Yang bersangkutan berkelakuan baik," katanya.

In Picture: Ekspor Perdana Produk Pesantren, dari Fashion Hingga Jengkol

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menunjukkan komoditas hortikultura saat acara pelepasan ekspor perdana produk pesantren One Pesantren One Product (OPOP) ke Dubai di Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Senin (13/12). Sebanyak 600 kilogram manggis, 300 kilogram rambutan, 200 kilogram salak dan 50 kilogram jengkol produk hortikultura dari pondok pesantren Al Ittifaq serta berbagai produk fesyen dari pondok pesantren Daarut Tauhid di ekspor ke Dubai. Foto: Republika/Abdan Syakura - (REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA)

 

Pekan lalu, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat menyebut Herry Wirawan terancam hukuman 20 tahun penjara akibat perbuatannya memerkosa 12 santriwati hingga hamil dan melahirkan. Plt Asisten Pidana Umum Kejati Jawa Barat Riyono mengatakan, Herry Wirawan dijerat dengan Pasal 81 UU Perlindungan Anak.

"Ancamannya 15 tahun, tapi perlu digarisbawahi di situ ada pemberatan karena sebagai tenaga pendidik, jadi ancamannya menjadi 20 tahun," kata Riyono di Bandung, Jawa Barat, Kamis (9/12).

Riyono menjelaskan, aksi tak terpuji itu diduga sudah Herry Wirawan sejak 2016. Dalam aksinya tersebut, ada sebanyak 12 orang santriwati yang menjadi korban yang pada saat itu masih di bawah umur.

Semua korban, kata dia, merupakan peserta didik di pesantren yang ada di Kota Bandung. Para santriwati yang menjadi korban sudah melahirkan delapan bayi dan tiga yang masih dalam kandungan.

"Mereka ini kan masih kategori anak-anak sehingga tentu saja ada trauma itu, pasti," kata Riyono.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti, menilai oknum guru pelaku rudapaksa terhadap 21 santriwati di Cibiru, Bandung memenuhi untuk dilakukan hukuman kebiri. Sebab  korbannya lebih dari satu.

"Kalau menurut kami gini, ini memenuhi, satu, korbannya lebih dari satu. Yang kedua ini dilakukan berulang-ulang. Itu membuat boleh dihukum tambahan. Kebiri itu namanya hukuman tambahan. Hukuman tambahan kebiri," kata Retno di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Senin (13/12).

Dirinya mengatakan hukuman kebiri bisa diberikan setelah pelaku menjalani hukuman pokok. Setelah menjalani 20 tahun penjara, hukuman kebiri bisa langsung diberikan kepada pelaku.

"(Hukuman kebiri) ini belum dilakukan di Indonesia, vonis sudah ada soal kebiri, tetapi yang dieksekusi belum ada karena kan harus ngikutin hukuman pokoknya dulu. Untuk kasus sebelumnya kaya Mojokerto kena 12 tahun kalau enggak salah, berarti dia 12 tahun dulu baru kena hukuman tambahan," ungkapnya.

Namun demikian Retno menilai hukuman kebiri bisa saja efektif, bisa juga tidak. Jika hormonnya tinggi, maka suntikan kebiri sangat berpengaruh. Tetapi jika bukan karena itu, maka perlu dilakukan rehabilitasi psikologi.

"Harus ada rehabilitasi psikologi sehingga si pelaku ini tidak mengulangi," tuturnya.

Sementara itu Anggota Komisi III DPR RI, Arsul Sani, menjelaskan hukum positif di Indonesia sudah mengatur tentang hukuman kebiri. Arsul menegaskan, dirinya mendukung keputusan hakim jika nantinya proses hukumnya memutuskan tindakan kebiri sebagai bagian dari hukuman pidana.

Dirinya juga menjelaskan, secara hukum acara pidana maka eksekutor putusan perkara pidana itu di jajaran Kejaksaan. Namun sebagai eksekutor putusan pidana maka kejaksaan bisa meminta bantuan instansi terkait.

"Kan selama ini begitu. Lihat saja dalam eksekusi pidana mati, maka ya eksekutornya ya jaksa tapi pelaksanaan dilakukan oleh regu tembak dari Polri, karena tidak mungkin jajaran kejaksaan yang melaksanakan penembakannya,"

"Demikian juga dalam soal tindakan pengebirian dalam kasus perkosaan atau kekerasaan seksual maka kejaksaan bisa bekerja sama dan dibantu tim dokter Polri jika kejaksaan tidak memiliki tim dokter sendiri," imbuhnya.

 

Perempuan rentan jadi korban kekerasan - (Republika)

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler