Lithuania Minta Bantuan Pemimpin Eropa Hadapi Tekanan China
Presiden Lithuania meminta bantuan pada pemimpin Eropa menghadapi tekanan China
REPUBLIKA.CO.ID, VILNIUS -- Lithuania meminta bantuan pada pemimpin-pemimpin Eropa dalam perselisihan dengan China. Permintaan ini disampaikan setelah delegasi diplomatik Lithuania meninggalkan China dengan tergesa-gesa.
"Kami pikir ini akan mengarah pada diskusi bagaimana Uni Eropa dan terutama Komisi Eropa dapat membantu Lithuania dalam masalah ini," kata penasihat presiden Lithuania Asta Skaisgiryte pada stasiun televisi Lithuania, Jumat (17/12).
"Kami ingin konflik ini menjadi jelas bagi mitra-mitra Eropa dan tindakan ekonomi akan seluas mungkin," tambahnya.
Sebelumnya, Duta Besar de facto Taiwan untuk Amerika Serikat (AS) Hsiao Bi-khim mengatakan Taiwan akan memperdalam hubungan ekonomi dengan Lithuania dalam 'siklus niat baik'. Pada November lalu Beijing menurunkan hubungan dengan Lithuania setelah negara itu mengizinkan Taiwan membuka kantor perwakilan di ibukotanya.
Sumber diplomatik mengatakan untuk merespons intimidasi, sekitar 19 personel kedutaan besar Lithuania dan keluarga mereka meninggalkan Beijing. "Disayangkan diplomat-diplomat mereka diintimidasi," kata perwakilan Taiwan di AS, Hsiao Bi-khim.
"Kami akan melakukan yang biasa kami lakukan dalam memperdalam rantai ekonomi dan kerja sama teknis dengan Lithuania. Cara kami memandang kemitraan dengan Lithuania adalah siklus kebaikan dan saling mendukung," tambahnya.
Pihak berwenang Lithuania menyebut untuk sementara waktu kedutaannya di Beijing akan beroperasi secara jarak jauh. Mereka telah mengajukan keluhan atas hukuman China pada Lithuania.
Hukuman itu seperti menekan perusahaan multinasional untuk tidak bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan Lithuania. Hukuman dijatuhkan Beijing setelah Vilnius memutuskan meningkatkan keterlibatannya dengan Taiwan yang dikelola secara otonomi tapi diklaim Beijing sebagai salah satu provinsinya.
Meski tidak memiliki hubungan resmi dengan Taiwan ,tapi Amerika Serikat (AS) pendukung terkuat pulau tersebut. Pemerintah Presiden AS Joe Biden juga berusaha agar pemerintah Taiwan dapat akses yang lebih luas di panggung internasional sementara Beijing berusaha mengisolasinya.
Hsiao mengatakan Taiwan berharap pulau itu dapat disebut sebagai negara resmi. Hingga saat ini, perwakilan AS di Taiwan masih dinamakan kantor perwakilan ekonomi dan budaya AS. "Itu harapan dan mimpi banyak rakyat Taiwan. Kami bisa disebut dengan nama normal yang tepat dan hal itu terus kami komunikasikan dengan mitra-mitra Amerika kami," katanya.
Hsiao mengatakan dalam beberapa tahun terakhir AS dan Taiwan telah meningkatkan pengadaan persenjataan. Langkah itu diambil sebagai reformasi pertahanan untuk menghadapi aksi militer China. Taiwan mengubah fokus pembelian senjatanya dari pembelian besar yang jarang menjadi lebih rutin.
"Apa yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir adalah AS meninjau kebutuhan kami berdasarkan kasus per kasus. Maka tidak ada niatan untuk mengelompokan semuanya ke dalam kalender politik atau waktu tertentu," kata Hsiao.
Menurutnya tidak ada niatan Taiwan untuk mengurangi sikap ofensif ke Beijing tapi lebih responsif pada kebutuhan pulau itu. Beijing mendesak Washington untuk menghentikan penjualan senjata ke Taiwan.
"Mengingat ancaman yang berubah-ubah, sedangkan dalam dekade-dekade sebelumnya kami fokus pada kapabilitas atau patroli masa damai, saya pikir saat ini kami fokus pada kemampuan khusus yang akan mencegah invasi sesungguhnya," kata Hsiao.