Eropa Sepakat Sanksi Rusia Jika Serang Ukraina
Uni Eropa, Inggris, dan AS sepakat jatuhkan sanksi jika Rusia menyerang Ukraina
REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Pemimpin-pemimpin Uni Eropa sepakat bersama Amerika Serikat (AS) dan Inggris, blok itu akan menjatuhkan sanksi ekonomi pada Rusia jika militer Rusia menginvasi Ukraina. Akan tetapi mereka juga mendorong agar lebih banyak diplomasi dengan Moskow.
Negara-negara Baltik, Eropa timur, dan tengah juga yakin Uni Eropa diserang Rusia di berbagai front. Lithuania menyinggung risiko serangan militer Rusia dari Belarusia, sekutu dekat Moskow.
"Setiap agresi militer terhadap Ukraina akan ditanggapi dengan konsekuensi dan kerugian besar, termasuk tindak pembatasan yang dikoordinasikan dengan para mitra (AS dan Inggris)," kata pemimpin Uni Eropa dalam pernyataan bersama, Kamis (16/12).
Barat menjatuhkan sanksi ekonomi ke Rusia pada 2014 lalu atas aneksasi semananjung Krimea dari Ukraina. Sanksi itu mengincar sektor perbankan, energi, dan pertahanan Rusia.
Uni Eropa tidak membahas sanksi apa yang akan dijatuhkan. Akan tetapi para diplomatnya mengatakan langkah-langkah baru dapat mengincar oligarki Rusia, melarang entitas Uni Eropa bertransaksi dengan bank-bank Rusia, dan kemungkinkan memotong semua bank Rusia dari jaringan SWIFT yang menjadi jantung transfer uang internasional.
Pemimpin-pemimpun Uni Eropa mengatakan blok itu mendorong upaya diplomatik dan mendukung Normandy Format dalam mencapai implementasi penuh perjanjian Minsk. Normandy Format merupakan perjanjian damai tahun 2014-2015 yang disepakati Jerman, Prancis, Ukraina, dan Rusia.
Peringatan yang disampaikan dalam pertemuan Uni Eropa ini merupakan salah satu dari upaya langsung AS dan sekutunya NATO untuk mencegah Rusia menyerang Ukraina dan mengurangi kemungkinan langkah mengejutkan Moskow. Banyak sekutu NATO yang juga negara anggota Uni Eropa.
"Kamis sudah menghadapi serangkaian serangan. Saya melihat semuanya saling berkaitan," kata Perdana Menteri Latvia, Krisjanis Karins, pada wartawan.
Menurutnya Rusia menggunakan imigran Timur Tengah di perbatasan Belarusia, menaikkan harga gas alam, dan menyebarkan berita palsu sebagai senjata. Ukraina masih menjadi titik gesekan antara Rusia dan Barat.
Washington mengatakan Rusia menumpuk 100 ribu pasukan lebih di perbatasan Ukraina, kemungkinan untuk invasi. Moskow mengklaim mereka memiliki hak memindahkan pasukannya di wilayahnya sendiri dan langkah tersebut sepenuhnya defensif. Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg mengatakan Rusia menambah bukan mengurangi pasukannya di perbatasan.
"Kami tidak melihat tanda-tanda penumpukan pasukan berhenti atau melambat, sebaliknya terus berlanjut," kata Stoltenberg dalam konferensi pers bersama Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky.
Stoltenberg mengatakan terdapat 'pasukan siap tempur, tank, artileri, unit-unit kendaraan lapis baja, drone, (dan) sistem tempur elektronik' Rusia di perbatasan Ukraina. Kremlin membantah tuduhan Barat termasuk berencana menginvasi Ukraina.
Rusia menegaskan mereka memiliki kepentingan keamanan yang sah di kawasan. Pada Rabu (15/12) lalu mereka juga menyerahkan proposal pada Amerika Serikat yang menyatakan NATO tidak boleh diperluas ke timur. "Kami mendukung hak semua negara untuk memutuskan masa depannya sendiri dan kebijakan luar negeri yang bebas dari intervensi dari luar," kata sekutu-sekutu NATO dalam pernyataannya.