Ulama Muslim Uganda Hidup dalam Ketakutan pada Pasukan Keamanan
Politikus mengatakan ada upaya yang disengaja agar Muslim dipandang sebagai teroris.
REPUBLIKA.CO.ID, KAMPALA -- Komunitas Muslim di Uganda sedang berjuang mengatasi dampak bom bunuh diri kembar yang melanda ibu kota pada bulan lalu. Periode setelah serangan tersebut ditandai dengan penangkapan brutal, penculikan, dan pembunuhan tersangka teror yang sebagian besar Muslim.
Penangkapan itu menimbulkan ketegangan di dalam komunitas Muslim. Ulama Muslim Salim Bbosa mengatakan kepada jamaahnya di Masjid Jamia bahwa dia berhenti mengajar kelas darusu untuk menghindari pemahaman cuci otak anak muda Muslim.
Di kelas, Muslim diajarkan norma-norma Islam dan cara menumbuhkan iman. “Saya menangguhkan tanpa batas waktu semua kelas darusu di semua masjid dan di platform media. Imbauan saya kepada seluruh umat Islam adalah bersabar dan tenang dalam menghadapi situasi yang berlangsung dan menghindari tindakan kriminal,” kata Muslim dalam pesan video.
Sekretaris Jenderal Dewan Tertinggi Muslim Uganda Ramadhan Mugalu menyebut jika seorang Muslim atau orang lain telah dituduh melakukan kejahatan, orang itu harus menjalani proses hukum yang semestinya. Kasus hilangnya ulama harus dilaporkan ke kantor dakwah.
Dalam sebuah petisi kepada Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) Uganda, Pusat Keadilan Muslim (MCJL) dan Jaringan untuk Pengacara Kepentingan Umum meminta agar komisi tersebut melakukan sejumlah hal. Mereka minta komisi membuka penyelidikan, mendengar, membuat perintah, dan mengeluarkan laporan tentang dugaan pembunuhan di luar hukum terhadap warga Uganda oleh pasukan keamanan.
Presiden MCJL Umar Nyanzi mengatakan ingin Komisi HAM menyelidiki ancaman terorisme. “Islam adalah agama damai dan kami meminta badan keamanan berhenti menghubungkan Muslim dengan teroris,” kata Nyanzi.
Kondisi ini juga menimbulkan tanggapan dari para politikus, di antaranya adalah Politikus Partai Aliansi untuk Transformasi Nasional Muhimbise George. Menurut dia, sangat disayangkan Uganda telah jatuh ke dalam skema menjelekkan Muslim sebagai penjahat.
“Sudah banyak kelompok pemberontak yang dipimpin oleh orang Kristen dan mereka tidak pernah dicap Kristen. Pemberontak bersenjata Kristen bernama Alice Lakwena memimpin Gerakan Roh Kudus yang kejam dan angkatan bersenjatanya tidak pernah disebut teroris Kristen,” ucap dia.
George menjelaskan ada upaya yang disengaja agar Muslim dipandang sebagai teroris. Sayangnya, para pemimpin Uganda secara sadar atau tidak sadar menyukainya.
“Bahaya yang ditimbulkannya adalah mereka yang distigmatisasi dan dilecehkan akan merasakan rasa tidak aman. Pada akhirnya, mereka mungkin berubah menjadi teroris yang sebenarnya sebagai tanggapan atas ketidakadilan dan kita mungkin berakhir menjadi teroris atas nama memerangi terorisme. Kita harus menghentikan stigma terhadap umat Islam,” tambahnya.
Dilansir Anadolu Agency, Ahad (26/12), ulama dan dosen Universitas Islam Uganda (IUIU) Imam Iddi Kasozi mengatakan pemerintah seharusnya berhenti mengira siapa pun yang membawa nama Arab atau Muslim sebagai Muslim sejati. Dia mengacu pada pada saudara laki-laki presiden Uganda bernama Jenderal Salim Saleh Akandwanaho yang dengan bangga membawa nama Muslim. Namun, semua orang tahu ia tidak pernah menerima agama Islam.
Sementara Presiden Uganda Yoweri Museveni mengatakan pasukan keamanan tidak sengaja menargetkan Muslim dalam perang yang sedang berlangsung melawan terorisme. “Semua yang ditangkap atau dibunuh baru-baru ini adalah target yang sah untuk terlibat dalam kegiatan yang bertujuan mengacaukan negara,” kata Musevini.
Tanggapan presiden diikuti oleh kritik di media sosial yang mengatakan pasukan keamanan sekarang menangkap Muslim setiap kali ada insiden teror. Menurut data dari Sensus Penduduk dan Perumahan Uganda 2015, Muslim di Uganda adalah kelompok minoritas dengan jumlah 13,7 persen dan sumber lain menunjukkan jumlahnya mungkin mencapai 30 persen.
https://www.aa.com.tr/en/africa/ugandan-muslim-clerics-live-in-fear-of-security-apparatus/2457301