China Tancapkan Pengaruh di Tanduk Afrika

China menunjuk utusan khusus perdamaian di Tanduk Afrika.

EPA-EFE/ANDREJ CUKIC
Menteri Luar Negeri China Wang Yi.
Rep: Santi Sophia Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Gerak China untuk menunjuk utusan perdamaian Tanduk Afrika telah ditafsirkan oleh beberapa pengamat sebagai langkah "resmi" Beijing untuk bergerak keluar dari langkah tradisional selama ini yang tak melakukan intervensi dalam urusan negara lain. Selain itu, langkah itu juga dianggap sebagai tanda kepercayaan yang bisa tumbuh di mata internasional.

Menteri Luar Negeri Wang Yi juga yang mengumumkan penunjukan itu juga menyerukan konferensi perdamaian regional selama kunjungannya ke Kenya, pekan lalu. Dia memuji "posisi strategis yang unik dan pembangunan besar" di kawasan itu.

Tetapi wilayah yang menjadi rumah bagi Djibouti, Eritrea, Ethiopia, Somalia, Sudan Selatan, dan Sudan itu telah mengalami perang saudara, pemberontakan Islam, dan kudeta militer yang mengancam investasi ke wilayah tersebut.

Analis juga menunjuk pada investasi besar yang dilakukan perusahaan-perusahaan China di seluruh kawasan, termasuk infrastruktur utama seperti pelabuhan dan kereta api, sebagai alasan lain dalam intervensi.

Seifudein Adem, profesor studi global di Doshisha University di Kyoto, Jepang, mengatakan penunjukan seorang utusan, menunjukkan China telah menyadari nilai geo-strategis Tanduk Afrika dan siap untuk secara resmi dan terbuka mengesampingkan "prinsipnya".

“Lebih penting lagi, ini mencerminkan kepercayaan China yang tumbuh sebagai kekuatan global yang meningkat dan bersedia serta mampu menyediakan barang publik global melalui, antara lain, mediasi konflik di negeri-negeri yang jauh", kata Adem, seperti dilansir dari Yahoo mengutip laporan South China Morning Post, Ahad (9/1/2022).

China, pada dasarnya, menampilkan dirinya untuk kali pertama sebagai mediator alternatif dari konflik di Ethiopia yang telah coba dimediasi secara aktif oleh AS, dan sejauh ini tidak berhasil.

Baca Juga


Yu-Shan Wu, peneliti pascadoktoral di National Institute for the Humanities and Social Sciences at the University of Pretoria di Afrika Selatan, mengatakan utusan khusus akan memungkinkan China mendukung dan berkoordinasi dengan lebih baik dalam perdamaian multilateral Afrika (Uni Afrika).

"Penunjukan seorang utusan juga akan membantu menginformasikan dengan lebih baik posisi China pada isu-isu tertentu seperti kompleksitas di Somalia dan perang saudara di Ethiopia," tambah Wu.

Aaron Tesfaye, profesor ilmu politik di William Paterson University, Wayne, New Jersey, mengatakan politik baru Tanduk Afrika yakni transisi yang goyah di Sudan, perubahan pemerintahan dan perang saudara di Ethiopia, dan konflik bersenjata yang sedang berlangsung di Somalia, semuanya telah menciptakan peluang bagi China.

Dia mengatakan kunjungan Wang menggarisbawahi China sekarang menjadi pemain besar di kawasan terutama Laut Merah. China telah mendanai jaringan kereta api senilai 4,5 miliar dolar AS ke Djibouti di Ethiopia dan membuat terobosan di Eritrea

Pasukan dari kedua negara telah memerangi pemberontak di provinsi Tigray Ethiopia. Selain itu, AS telah memberikan sanksi kepada para pemimpin yang tidak disebutkan namanya di Ethiopia dan Eritrea.

Wang mengecam sanksi ketika mengunjungi Eritrea pekan lalu. Tesfaye mengatakan para pemimpin kedua negara tampaknya menegaskan "kemerdekaan" mereka dari AS dan hampir mengabaikan inisiatif perdamaian Washington.

"Orang harus melihat kunjungan Wang baru-baru ini sebagai penegasan bahwa China sangat tertarik untuk memperdalam hubungan politik, ekonomi, dan militer dengan negara-negara, yang merupakan pemain kunci, bersama dengan Negara-negara Teluk, dan penting bagi China. Jalur Sutra Maritim dan pengamanan di pesisir Laut Merah,” katanya.

Menurut Yunnan Chen, seorang pejabat peneliti senior di Overseas Development Institute yang berbasis di London, kepentingan jangka panjang perusahaan investor Tiongkok, proyek-proyek yang dibangun, dan hubungan perdagangan serta investasi yang stabil terus menerus bergantung pada perdamaian dan keamanan jangka panjang di kawasan itu.

Dia mengatakan konflik menempatkan warga dan pekerja China di lapangan dalam risiko, serta keberlanjutan proyek infrastruktur utama yang sekarang dianggap sebagai bagian dari Inisiatif Sabuk dan Jalan. "Kepentingan ekonomi ini dan pentingnya kawasan di BRI  (belt road initiative) maritim China, tentu saja, memberi China kepentingan rasional dalam perdamaian dan keamanan yang bertahan lama di kawasan itu," kata Chen.

Lina Benabdallah, seorang spesialis dalam hubungan China-Afrika di Wake Forest University, North Carolina, mengatakan Beijing mengakui bahwa tidak adanya perdamaian dapat menghambat kemungkinan investasi dan menyebabkan skenario ketidakamanan lebih besar. Hal itu dianggap tidak menguntungkan peran, citra maupun kepentingan Beijing.

W Gyude Moore, pengamat kebijakan senior di Center for Global Development dan mantan menteri pekerjaan umum Liberia mengatakan, China berkeinginan untuk dilihat sebagai kekuatan besar. Hal itu selalu akan mengarah pada peran yang lebih substantif dalam keamanan kawasan.

Dia mengutip pangkalan angkatan laut luar negeri pertama China di Djibouti, yang awalnya didirikan untuk mendukung operasi anti-pembajakannya di sepanjang rute perdagangan yang sibuk. "Orang dapat melihat dinamika serupa di sini di China, baik dalam menjaga investasinya di kawasan maupun berkontribusi pada keamanan kawasan," kata Moore.

Sebelumnya masalah utang Uganda terhadap China yang cukup besar memicu spekulasi tentang penyitaan Bandara Internasional Entebbe. Beijing juga telah lama dikritik karena terlalu banyak memberikan pinjaman ke negara-negara miskin, termasuk Afrika, tanpa meneliti kemampuan peminjam untuk membayar kembali.





BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler