Obat Oral Covid-19 Sudah Tersedia, Untuk Apa Lagi Vaksin Booster?

Menurut survei Indikator Politik, 54,8 persen responden tak setuju vaksinasi booster.

AP Photo
Kapsul Molnupiravir yang disebut ampuh mengobati pasien Covid-19. Pemerintah menyatakan telah mengamankan stok 400 ribu Molnupiravir pada Januari ini.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah, Febrianto Adi Saputro

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan, saat ini sebanyak 400 ribu tablet Molnupiravir sudah siap digunakan. Molnuvirapir adalah obat oral produksi Merck yang diklaim mampu menekan risiko rawat inap dan mencegah kematian pasien Covid-19.

Baca Juga



"Sebagai infomasi 400 ribu tablet Molnupiravir yaitu obat antivirus yang baru dari Merck sudah tiba di Indonesia dan sudah siap digunakan," ungkap Budi dalam Konferensi Pers secara daring, Senin (10/1/2022).

Diketahui, obat alternatif Covid-19 Molnupiravir tiba di Indonesia pada Senin (3/1/2022) lalu. Berdasarkan penelitian, Molnupiravir mampu memberikan proteksi sebesar 50 persen, namun hasil terkini bergeser ke 30-40 persen.

Dikonfirmasi terpisah, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito mengatakan, pihaknya sudah menerbitkan izin penggunaan darurat atau emergency use authorization (EUA) terhadap Molnupiravir.

"Sudah (BPOM terbitkan EUA untuk obat Molnupiravir)," kata Penny di Jakarta, Senin (10/1/2022).

Molnupiravir termasuk dalam kelas antivirus yang dikenal sebagai ribonukleosida mutagenik. Pada dasarnya, obat ini bekerja dengan cara mencegah virus mereplikasi diri.

Cara kerjanya dilakukan dengan mengubah enzim yang menempel pada virus, secara efektif mengelabui virus sebelum memasukkan kesalahan ke dalam kode genetik virus. Selama masa pengobatan, pasien diminta untuk minum empat pil dua kali sehari selama lima hari, dengan total 40 pil di seluruh rejimen.

Pada Oktober tahun lalu, Merck mengumumkan hasil uji coba global menunjukkan bahwa obat Molnupiravir mengurangi risiko rawat inap dan kematian akibat Covid-19 sekitar 50 persen. Uji coba melibatkan 775 peserta yang tidak divaksinasi, masing-masing memiliki setidaknya satu faktor risiko yang terkait dengan hasil penyakit yang buruk, seperti obesitas, diabetes, atau penyakit jantung.

Peserta dipisahkan menjadi dua kelompok, yaitu satu yang menerima obat dan kelompok lainnya menerima plasebo. Pada kelompok plasebo, 53 pasien atau 14 persen dirawat di rumah sakit atau meninggal karena infeksi dibandingkan dengan 28 atau 7,3 persen pada kelompok yang menerima pengobatan.

Setelah 29 hari pemantauan, tidak ada kematian yang dilaporkan pada mereka yang menerima molnupiravir dibandingkan dengan delapan kematian di antara mereka yang menggunakan kelompok plasebo. Uji coba awalnya dimaksudkan untuk memasukkan 1.550 pasien, tetapi dihentikan karena hasil analisis sementara yang menurut komite pemantau data independen cukup 'menarik' untuk terus maju mendapatkan persetujuan dan peraturan distribusi.

Meski pemerintah telah berhasil mengamankan stok 400 ribu Molnupiravir, program vaksinasi dosis penguat atau booster tetap akan digelar mulai 12 Januari 2022 mendatang. Berdasarkan survei terbaru Indikator Politik Indonesia, sebanyak 54,8 persen responden tak setuju terkait rencana pengadaan vaksin dosis ketiga atau booster Covid-19.

"54,8 persen tidak setuju, 41,7 persen setuju. Bahkan, dikasih booster pun masyarakat lebih banyak yang tidak setuju ketimbang setuju," kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia dalam rilis survei nasional terbarunya bertajuk 'Pemulihan Ekonomi Pasca-Covid, Pandemic Fatigue, dan Dinamika Elektoral Jelang Pemilu 2024', secara daring Ahad (9/1/2022).

Burhanuddin menilai, banyaknya masyarakat yang menolak vaksin booster menjadi sebab isu-isu terkait lainnya. Ia mencontohkan misalnya persoalan vaksin yang tidak segera terdistribusi.

"Dan itu potensial expired karena makin lama makin sulit untuk dicari warga yang bersedia untuk divaksin. Sementara vaksinnya ada, tetapi kalau secara psikologis masyarakat menolak, itu juga jadi masalah," imbuhnya.

Diketahui survei survei dilakukan 6-11 Desember 2021 dengan menggunakan metode multistage random sampling. Adapun total sampel sebanyak 2020 responden dengan jumlah sampel basis sebanyak 1220 orang tersebar proporsional di 34 provinsi.

Dari sampel basis 1220 responden memiliki toleransi kesalahan (margin of error) sekitar 2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. Responden dilakukan dengan wawancara tatap muka.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Keadilan Kesehatan mendesak pemerintah mengkaji ulang rencana pemberian vaksin booster atau dosis ketiga untuk masyarakat umum. Sebab, cakupan vaksinasi dosis 1 dan 2 belum optimal untuk kelompok masyarakat rentan, terutama warga lanjut usia.

Hingga Kamis (6/1/2022), cakupan vaksinasi dosis kedua di Indonesia masih relatif rendah, yakni 55,58 persen. Vaksinasi lansia dosis penuh juga baru mencapai 42,86 persen. Artinya, masih ada sekitar 6,9 juta lansia yang belum mendapatkan vaksin sama sekali.

Jumlah ini juga belum termasuk kelompok rentan, seperti warga dengan penyakit penyerta, ibu hamil, masyarakat adat, difabel, dan lainnya. Pemerintah pusat belum menyediakan data cakupan vaksinasi kelompok masyarakat rentan.

Padahal, mereka merupakan kelompok yang memiliki risiko terinfeksi tinggi. Situasi ini memperlihatkan ketimpangan vaksinasi di Indonesia masih relatif tinggi. Kondisi ini berpotensi membuat masyarakat rentan terpapar Covid-19. Oleh karena itu, rencana pemberian vaksin booster bukan langkah bijak.

Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pada Senin (3/1/2022) mengungkapkan, masih ada 13,6 juta orang di Jawa dan Bali atau sebanyak 9 persen masyarakat yang masih belum divaksinasi Covid-19.

“Masih ada 13,6 juta orang di Jawa Bali atau 9 persen yang belum terlindungi. Jadi angka tidak kecil,” ujar Luhut.

Luhut mengatakan, kabupaten kota yang vaksinasi dosis pertama untuk masyarakat umum dan lansia masih di bawah 50 persen menjadi prioritas utama percepatan vaksinasi, seperti di daerah Pamengkasan, Sumenep, dan juga Bangkalan.

“Berita baiknya, saat ini hanya dua kabupaten kota di Jawa Bali dengan kondisi dosis satu yang berada di bawah 50 persen,” tambah Luhut.  

Ihwal masih diperlukannya vaksin dosis ketiga atau booster, mantan direktur penyakit menular WHO Asia Tenggara, Prof Tjandra Yoga Aditama menyampaikan, vaksinasi booster bisa kurangi risiko gejala varian Omicron. Berdasarkan studi di Skotlandia, booster berfungsi memperkuat imunitas orang yang sudah divaksinasi.

"Berdasarkan penelitian di Skoltlandia, mereka yang sudah mendapat vaksinasi dosis ke tiga/booster punya risiko 57 persen lebih rendah untuk menunjukkan gejala-gejala sesudah terinfeksi Omicron, " kata Tjandra kepada Republika, Senin (10/1/2022).

Hal senada juga disampaikan dalam laporan “The United Kingdom Health Security Agency". Disebutkan, risiko masuk rumah sakit turun 65 persen pada mereka yang sudah divaksin dua kali.

"Dan turun 81 persen pada yang sudah divaksin tiga kali, dibandingkan dengan mereka yang tidak mendapat vaksin sama sekali," tutur Tjandra.

Ada lima jenis vaksin yang mendapatkan UEA dari Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan (BPOM) untuk digunakan sebagai booster. Kelima vaksin itu adalah Coronovac BioFarma, Moderna, Pfizer, AstraZeneca, dan Zifivax.

Kepala BPOM RI Penny Lukito, mengatakan, lima vaksin yang telah mengantongi EUA telah melalui uji klinis, untuk keamanan kejadian yang tak diinginkan. Reaksi lokal seperti nyeri, kemerahan di tempat yang disuntik tingkat keparahannya umumnya masih ringan.

Nantinya, lanjut Penny, ada dua mekanisme pemberian booster. Pertama, booster dalam bentuk homolog atau menggunakan vaksin yang sama dengan yang sebelumnya. Kedua, heterolog atau menggunakan vaksin berbeda dari sebelumnya.

Aturan pakai molnupiravir. - (Republika)

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler