Aung San Suu Kyi Terancam Dihukum 100 Tahun Penjara, AS Berang
Aung San Suu Kyi kembali dijatuhi hukuman penjara oleh pengadilan militer Myanmar
REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Aung San Suu Kyi pada Senin (10/1/2022) dijatuhi hukuman empat tahun penjara lagi atas tuduhan terkait dengan pelanggaran pembatasan Covid-19 dan kepemilikan walkie talkie yang diimpor secara ilegal. AS pun bertindak dengan mendesak junta Myanmar untuk membebaskan pemimpin sipil tersebut.
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Ned Price mengatakan, penangkapan, penahanan dan hukuman yang dijatuhkan kepada Suu Kyi adalah penghinaan terhadap keadilan dan supremasi hukum di Myanmar. Price meminta junta untuk segera membebaskan Suu Kyi, dan semua orang yang telah ditahan secara tidak adil, termasuk para pemimpin lain yang dipilih secara demokratis.
"Proses peradilan palsu rezim untuk menyerang lawan politiknya, supremasi hukum, serta penggunaan kekerasan yang berkelanjutan terhadap rakyat Burma hanya menggarisbawahi urgensi memulihkan jalan Burma menuju demokrasi," kata Price, dilansir Anadolu Agency, Selasa (11/1/2022).
Price mengatakan, rakyat Myanmar secara konsisten menunjukkan bahwa mereka tidak mau berada di bawah kediktatoran militer. Price menambahkan, AS akan mendukung setiap perjuangan rakyat Myanmar menuju demokrasi.
"Kami telah melihat ini secara konsisten, rakyat Burma menunjukkan bahwa mereka tidak ingin menghabiskan satu hari lagi di bawah kediktatoran militer, dan kami akan terus mendukung mereka," ujar Price.
Pada 6 Desember lalu, Suu Kyi dinyatakan bersalah atas dua tuduhan yaitu penghasutan dan pelanggaran pembatasan Covid-19. Dia dijatuhi hukuman empat tahun penjara. Namun kepala pemerintahan militer, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, mengurangi hukuman Suu Kyi hingga setengahnya. Suu Kyi ditahan oleh militer di lokasi yang tidak diketahui.
Partai Liga Nasional untuk Demokrasi yang dipimpin Suu Kyi menang telak dalam pemilihan umum tahun lalu. Tetapi militer mengatakan, partai Suu Kyi melakukan kecurangan dalam pemilihan umum. Ini menjadi salah satu alasan militer melakukan kudeta.
Pendukung Suu Kyi dan analis independen mengatakan, semua tuduhan yang dilayangkan terhadapnya bermotivasi politik. Tuduhan itu merupakan upaya untuk mendiskreditkan Suu Kyi, dan melegitimasi perebutan kekuasaan oleh militer. Termasuk mencegah Suu Kyi kembali ke kancah politik. Jika terbukti bersalah atas semua tuduhan yang dihadapi, dia bisa dihukum lebih dari 100 tahun penjara.
Pada 1 Februari 2021, militer Myanmar melancarkan kudeta terhadap pemerintahan sipil di negara tersebut. Mereka menangkap Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, dan beberapa tokoh senior partai National League for Democracy (NLD).
Kudeta dan penangkapan sejumlah tokoh itu merupakan respons militer Myanmar atas dugaan kecurangan pemilu pada November 2020. Dalam pemilu itu, NLD pimpinan Suu Kyi menang telak dengan mengamankan 396 dari 476 kursi parlemen yang tersedia. Itu merupakan kemenangan kedua NLD sejak berakhirnya pemerintahan militer di sana pada 2011.
Baca: Arab Saudi Krisis Rudal Gara-Gara Beli Sistem Pertahanan Buatan AS
Setelah kudeta, hampir seluruh wilayah di Myanmar diguncang gelombang demonstrasi. Massa menentang kudeta dan menyerukan agar para pemimpin sipil yang ditangkap dibebaskan. Namun, militer Myanmar merespons aksi tersebut secara represif dan brutal. Menurut Assistance Association for Political Prisoners yang berbasis di Myanmar, sekitar 1.459 orang telah tewas dan lebih dari 8.500 demonstran ditangkap dalam penumpasan brutal militer.
Baca: Australia tak Mau Lockdown, Memilih Lewati Wabah Covid-19 Omicron
Baca: Menlu Israel Positif Covid-19 Saat Negaranya Bersiap Hadapi Omicron dengan Dosis 4 Vaksin