Presidential Treshold, Cara Alternatif Stabilkan Pemerintah

Adanya presiden treshold tak menjamin pemerinatahan stabil

Republika/Dian Erika Nugraheny
Masyarakat sipil pemohon uji materi ambang batas pencalonan presiden (presidential treshold) di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (21/6). Masyarakat sipil yang terdiri dari ahli hukum, akademisi, mantan pimpinan KPK, mantan pimpinan KPU dan pegiat pemilu tersebut meminta MK segera memproses dan memutus permohonan uji materi tentang ambang batas pencalonan presiden.
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr. Margarito Kamis, SH.M.Hum, Pakar Hukum Tata Negara dan Staf Pengajar Universitas Khairun Ternate.     


 

Presidensialisme, sebuah pandangan konstitusionalisme empiris, menyodorkan presiden sebagai wujud kekuasaan pemerintahan, yang efekitifitasnya dibayangkan terus mekar, terkonsolidasi dan tak terganggu oleh permainan politik. Vesting clause memang mendefenisikan cakupan kewenangan presiden, ditpang dengan implied power. 

Semuanya harus terjaga, dan dapat digunakan secara efektif, sesuai asumsi dasar pembentukan kekuasaan  ini. Konstitusionalisme empiris juga menunjukan dengan sangat terang perluasan kekuasaan presiden, melampuai sekam konstitusi. Politik dan kerumitan penyelenggaraan pemerintahan, telah terbukti menjadi sumbu lain bertambahnya kekuasaan presiden. 

Diluihat dari sudu asal-usul, perluasan kewenangan presiden, dalam kasus Amerika, bukan tak terbayangkan. Presidensialisme Amerika, per se,  kian hari hari kian menguat. Tak terasa fenomena itu mewabnah di Indonesia. Menariknya penguatan itu dipertalikan dengan, salah satunya, dengan presidential threshold. 

Perluasan presidensialisme Indonesia, menariknya berkiblat pada presidensialisme Amerika. Presidensialisme Amerika terlihat diambil dan dijadikan rukukan, yang entah bagainmana dipertalikan dengan  presidential threshold. Presiden didukung oleh banyak partai, dan dibayangkan presiden, siapapun orangnya, memiliki kaki politik di DPR. Tujuannya sederhana, presiden dapat bekerja secara efektif, dan stabilitas pemerintahannya terjaga.    

Masalahnya apakah rujukan tersebut kredibel? Itu soal yang harus didalami. Amerika disepanjang sejarah mereka, menyodorkan dua partai yang silih berganti memerintah atau mengendalikan kekuasaan. Sedari awal presidensialismenya memang sudah begitu.

Dalam Philadelphia constitutional convention 1787, pembicaraan mengenai konsep presiden sama sekali tidak dikaitkan dengan partai politik. Partai politik malah secara samar-samar dalam nada negatuif. Begitu juga demokrasi. Yang dibicarakan adalah republik.

Pemilihan presiden misalnya, sama sekali tidak menjadikan  demokrasi sebagai preferensi.  Memilih, bukan menunjuk atau mengangkat, itulah yang diyakini semua peserta konvensi sebagai keharusan republik. Pemilu memang dibicarakan, tetapi tidak dipertalikan dengan demokrasi. Pemilu dipertalikan dengan republik.   

Menariknya hingga berlangsungnya  Constitutional Convention di Philadelphia sejak akhir Mei 1787 hingga pertengahan September 1787, tidak ditemukan praktek  pemerintahan presidensial. Tak satu pun dari 13 negara bagian, yang tergabung dalam konfederasi, mempraktekan pemerintahan presidensial. Tidak juga ditempat lain, di dunia kala itu. 

Tetapi semangat penciptaan satu pemerintahan nasional yang kuat, terus mengenergizer anggota konvensi. Kuatnya motifasi itu, memaksa mereka membicarakan kekuasaan eksekutif, executive power. Hebatnya, motivasi sebesar itu tidak membutakan mereka terhadap tabiat bawaan manusia.  

Praktis, pembicaraan mengenai pemerintahan nasional yang kuat dipandu dengan asumsi-asumsi filosofis tentang tabiat manusia, dan tipikal kekuasaan. Perihal tabiat kekuasaan, para peserta terinspirasi kuat oleh praktik raja-raja Inggris, terutama George III, yang despotik. 

Rumit memang, sebab kendati konvensi dibekali dengan Virginia Plan, draft konstitusi yang  dirancang oleh James Madison, hingga debat tanggal 1 Juni, belum ditemukan nama dan sifat executive power itu. Beruntung mereka memiliki James Wilson, ahli hukum, yang dengan kepiawaiannya segera memecahkan kerumitan itu.

Tanggal 1 Juni, seminggu setelah konvensi berlangsung, James Wilson, delegasi Philadelphia, membicarakan konsep presiden untuk pertama kalinya. Presiden yang dibicarakan Wilson, dan kelak dijadikan rujukan sepanjang konvensi itu, bukan orang, melainkan sebuah konsep kekuasaan eksekutif.

Michael W. McConnel, dalam article “Wilson Contribution to the Construction of Article II,” menulis setelah meletakan “the Executive power” in a unitary President, Komite detail merancang satu pasal baru yang berisi daftar kekuasaan presiden (eksekutif), termasuk kewajibannya. Daftar ini, tulis McConnel lebih jauh” powerfull executive independent of the legislature.” 

Rancangan ini mengesampingkan gagasan Roger Sherman tentang Executive magistracy. Bagi Sherman eksekutif berfungsi sebagai pelaksana kebijakan legislatif. Jelas, gagasan itu memperoleh sambutan, layaknya sambutan konvensi terhadap gagasan James Wilson. 

Bagi Wilson, kekuasaan presiden tidak bisa dicampuri oleh kongres. Gagasan Wilson ini, dijadikan draf ketiga oleh Komite Deteil, yang Wilson ikut di dalamnya, dan menulis sendiri draft itu. Draft ketiga yang ditulis Wilson dimulai dengan (section 12). Dikenal dengan vesting clause karena pada section inilah kekuasaan presiden ditulis. Section ini dimulai “The Executive power of United State shall be vested a single Person.”

Hebatnya, melaksanakan hukum tidak dirumuskan sebagai kekuasaan presiden. Pelaksanaan hukum, yang drafnya ditulis oleh Rutledge dan Charles Pinckney sebagai “duty”  presiden. Menurut McConnel, gagasan ini bersandar pada logika William Blackstone, ahli hukum Inggris, tentang kewajiban raja Inggris mengurus rakyat berdasarkan hukum. 

Carol Berkin, sejarahwan top ini, menulis pada tanggal 6 Agustus 1787, komite detail memformulasi konsep presidensi, cara pemilihannya, masa jabatannya dan kekuasaannya. Dijelaskan lebih jauh, executive power dilaksanakan oleh seseorang, dipilih oleh legislatif untuk masa jabatan 7 (tujuh) tahun, tanpa kemungkinan  dipilih kembali, termasuk cakupan kekuasaannya. 

 

Berbeda dengan gagasan yang tersaji pada debat PPKI tanggal 10 ampai dengan 16 Juli 1945, hanya Bung Hatta yang nyata-nyata mencurigai kakuasaan disatu sisi, dan atas dasar itu Bung Hatta hendak mengekang kekuasaan itu. Caranya adalah mengatur hak asasi manusia, sebuah gagasan yang mendapat tantangan begitu keras dari Soepomo, para pembentuk UUD Amerika, melalui Constitutional Convention Di Philadelhia, justru sebaliknya. 

Mereka ingin menciptakan pemerintahan nasional yang, dalam istilah James Madison “energizer” kuat dan efektif, tetapi praktik kekuasaan raja-raja Inggris, begitu menghantui mereka. Madison sendiri memiliki tesis yang menarik. Katanya “if men were angle, no government wold be necessary. If angle were to govern men, neither external or internal control government wold be necessary.

Cukup jelas ketakutan mereka tentang manusia yang memerintah. Presiden, siapapun yang menyandangnya, memiliki ambisi. Sejarah cukup berbicara tentang ambisi manusia yang memegang kekuasaan. Inggris dan Romawi memiliki catatan hitam dalam urusan ini. 

Soal ini digambarkan dengan tepat oleh Madison. Dalam Federalis Paper Nomor 51, Madison menulis “ambition must be made counteract ambition. The interest of the man, tulis Madison lebih jauh,  must be connected the constitutional rights of the place. Itu sebabnya pemerintah harus dikontrol, dan rakyat, dalam pandangannya adalah fountain, source and primary goverment control. 

Penilaian kongklusif ini menuntun dirinya, menegaskan setiap departemen tidak bisa diberi kekuasaan secara setara. Menarik, walau menghendaki pemerintahan nasional yang kuat, efektif begitu diksi dominan dalam konvensi itu, Madison menyodorkan satu elan republik. Pemerintahan republik, dalam kata-katanya “legislative authority necessary predominates.”

Konvensi akhirnya menyepakati konstitusi. Praktis presidensial tercipta berdasarkan asumsi pemerintahan  yang kuat, stabil dan efektif. Pemerintahan presidensialpun  mulai dipratikan untuk pertama kalinya, tidak hanya di Amerika,  tetapi dunia pada tanggal 14 April 1789. 

Segera setelah itu, dalam kenyataannya, dan kenyataan beralasan dijadikan justifikasi empiris untuk, kalau tidak menerima sepenuhnya, mempertimbangkan  relefansi presidential threshold. George Washington, presiden pertama yang tidak dibekali sejarah praktik pemerintahan presidensial, segera diintrupsi oleh perbedaan pandangan antar para menteri atas kebijakannya tentang pembiayaan pemerintahan. 

Siapa yang mengotorisasi penarikan pajak dan bea serta siapa, kementerian keuangankah atau Bankkah yang menampung uang-uang itu? Itu pemicunya. Hamilton, menteri keuangan kala itu, memilih menempatkanya di Bank. Untuk tujuan itu, Hamilton hendak mendirikan sebuah bank nasional, yang sifatnya sebagai bank sentral. 

Gagasan ini didukung John Adam, Wakil Presiden secara terbuka. Sial, gagasan itu ditentang  secara terbuka oleh Thomas Jefferson, Menteri Luar Negeri, yang memegang portofolio sebagai Sekertaris Negara. Jefferson mendapat dukungan langsung dari koleganya sesama ahli hukum, James Madison, yang kala itu menjadi anggota Kongres. 

Alexander Hamilton dan John Adam berstau menjadi satu faksi, berhadapan dengan Thomas Jefferson dan James Madison pada faksi lain secara diametral. Bukan presiden, melainkan Kongres yang membentuk UU. Skema ini dimengerti oleh Hamilton, dan atas dasar itu Hamilton segera menjalin koneksi dengan kolega-koleganya sesama Federalis di Kongres. Orang-orang yang terkoneksi dengan Hamilton menyebut kelompok “Republican.”  

Tujuannya sederhana, kongres meloloskan undang-undang bank nasional Bagaimana sikap Washington? Washington membiarkan saja anak buahnya bertikai. Akhir yang hebat memang menanti, Hamilton yang memiliki kedekatan istimewa dengan Washington, keluar sebagai pemenang dalam pertikaian yang, kelak menjadi dasar dua partai dalam politik Amerika. 

Hamilton (Federalis) jelas muncul menjadi pemenang dalam kisruh yang telah dibayangkan sealama debat di konvensi. Tetapi politik telah menentukan takdirnya. Kongres telah terbelah hebat ke dalam dua faksi,  faksi Federalis vs faksi kaukus Republik-Demokrat. Federalis kelak menjelma menjadi partai republik, dan faksi kaukus Republik-Demokrat kelak menjelma menjadi Partai Demokrat. 

Kenyataan pembelahan itu mengkawatirkan George Washington. Menurut William Coroty, Washington  menegaskan efek buruk semangat partai akan memecah belah dan menghancurkan negara baru ini. John Adam, Wakil Presidennya, disisi lain, sebelum menjadi residen kedua Amerika, menyatakan republik akan terpecah menjadi dua partai besar, harus ditakuti sebagai kejahatan politik terbesar dibawah konstitusi kita.

Adam pasti bukan politisi menla-mencle, tetapi kekhawatirannya yang hebat itu, dalam kenyataannya sama sekali tidak memandu kebijakan-kebijakan pemerintahannya. Republikanisasi, nama lain dari wujud ambisi Federalis memegang  supremasi dan stablisasi serta efektifitas pemerintahan nasional, menjadi tipikal pemerintahannya. 

Kebijakan republikanisasi Adam, diwujudkan untuk menguasai, salah satunya,  semua pengadilan. Setelah menempatkan John Marshal menjadi Ketua Mahkamah Agung beberapa hari sebelum berakhir masa jabatannya, Adam terus merealisasikan ambisis Federalisnya itu. 

Adam menominasi sejumlah, kalau tidak salah 46 jumlah hakim, termasuk  Marbury, sehari sebelum berakhir masa jabatannya. Sial, dan ini yang terjadi, Marbury tidak dilantik. Thomas Jefferson, Presiden ke-3, bersama Madsion, Sekretaris negaranya, membatalkan nominasi itu. Tindakan Madison ini menjadi sebab satu-satunya judicial review pertama dalam sejarah peradilan Amerika. 

Semangat antagonisme, dengan hasil yang satu dan lainnya menarik, terus mewarnai jalan sejarah mereka. Andrew Jackson, sang Jefersonian tulen ini, bersama Martin van Biren memperluas cakrawala antagonisme itu, dengan cara menjadikan partai Demokrat berbasis masa pada pilpres 1828. 

Terkenal sebagai Jefersonian, dan didukung mayoritas demokrat di kongres, Jackson menolak memperpanjang beroperasi nasional bank. Ini dikenal dengan Jackson veto. Hasilnya adalah krisis keuangan tahun 1837. Berakhirkah?  Pembelahan politik di Kongres, sesuatu yang khas itu, bergerak menguat pada pemerintahan Abrahan Lincoln, 1861. 

Agak eksentrik, tetapi mayoritas republik di Kongres menguntungkan Lincoln ketika menangguhkan Habes Corpus Act, saat dirinya menangani perang saudara, Utara-Selatan. Kebijakan keuangannya yang ditentang oleh Demokrat, dalam kenyataan, lolos juga. Memang harus diakui, Lincoln mengancam kongresbahwa ia  akan mengelontorkan fiat money dalam jumlah tak terbatas. 

Mengejutkan, Abrahan Lincoln ditembak mati oleh Jonh Winkel Both. Penerusanya Andrew Johnson, yang sedari awal berhaluan Demokrat, yang gagah berani memulihkan daerah Selatan, tetapi terus ditentang oleh Republik, harus bertemu dengan impeach. Dirinya diimpeach, untuk urusan sederhana, memberhentikan Edwin Standton, Menteri pertahanannya. Itulah impeachment pertama dalam sejarah Amerika.  

 

Asumsi presidensial sebagai pemerintah stabil, kuat dan efekltif, terbukti tak simetris dalam kenyataan. Kebijakan standar gold misalnya, yang menjadi visi William McCenley pada tahun 1896, berhasil karena topangan politik.  

 Kebijakan pendirian Bank Sentral, The Federal Reserve, yang dibentuk berdasarkan The Federal Reserve Act 1913 misalnya, sukses berkat dominasi Demokrat di Kongres. Demokratlah yang mencalonkan Woodrow Wilson, sang professor berhaluan progresif ini menjadi presiden. 

Pemerintahan Wilson, mirip John  Adam pada masanya, membentuk Espionace Act 1917. Act dijadikan instrumen liberalisasi tatanan internasional, menghukum siapapun yang menantang gagasan liberalisme. Liberalisme khas Wilson, sebenarnya merupakan sarana akselerasi pembebasan, memerdekakan Negara-negara, terutama di Jazirah Arab disatu sisi. Disisi, kebijakan ini didedikasikan untuk  menghalau Komunisme internasional. 

Politik pembelahan, Demokrat vs Republik ini pulalah, yang memanggungkan Franklin Delano Rosevelt, dengan New Dealnya. Kisah suksesnya dalam mengatasi krisis ekonomi hebat tahun 1929-1933 adalah cerita dominasi Demokrat di Kongres. 

Demokrat Selatan, memang sempat menantang kebijakan Rosevelt menambahkan jumlah hakim Agung. Tetapi selebihnya, kongres membebek pada politik presiden. Itu sebabnya, mengapa periode presidensialisme Rosevelt disebut juga periode totalitarian khas Amerika.  

Sejarah akan berbicara lain, memberi takdir berbeda pada Clinton andai saja Demokrat tidak mayoritas di Kongres. Trump, mungkin akan menemui akhir yang menjengkelkan, bila saja Republik tidak mendominasi Kongres.  Unik, tetapi itulah politik. Amerika berhutang pada politik dua partai, dua aliran untuk menghasilkan pemerintaha  yang stabil. 

Sama dengan Amerika, para pembentuk UUD 1945 memang menghendaki presiden yang kuat, yang kelak disolidkan oleh MPR pada perubahan UUD 1945. Menariknya, PPKI tidak berbicara tentang parpol, sama dengan peserta Constitutional Convention Amerika di Philadelphia. Zaman berubah,  MPR 1999 justru membicarakan. 

Pemerintah yang stabil memeerlukan ketepatan mengurusnya. Bila salah urus, despotisme akan menemukan jalan mendatangi bangsa ini sebagai takdir politik yang menjengkelkan. Tidak usah peduli pada peringatan Clinton Rossiter, tentang Constitutional Dictatorship, tetapi sejarah perluasan kekuasaan presiden dalam praktek, menginspiorasi beberapa ilmuan tata Negara menyamakan presiden dengan raja. 

 

Jakarta, 15 Januari 2022

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler