Pemerintahan Trump Disalahkan Atas Krisis Kesepakatan Nuklir Iran

Mantan Presiden Donald Trump karena menarik AS dari kesepakatan nuklir Iran

ap/Planet Labs Inc.
Foto satelit dari Planet Labs Inc. menunjukkan fasilitas nuklir Natanz Iran pada hari Rabu, 14 April 2021.
Rep: Kamran Dikarma Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Penasihat Keamanan Nasional Amerika Serikat (AS) Jake Sullivan mengkritik pemerintahan mantan presiden Donald Trump karena menarik negara tersebut dari kesepakatan nuklir Iran. Menurut Sullivan, pemerintahan Presiden Joe Biden menanggung akibat dari keputusan tersebut.

“Alasan kami berada dalam situasi saat ini adalah karena pemerintahan sebelumnya menarik diri dari kesepakatan (nuklir) Iran dan kami membayar harga dari kesalahan bencana itu,” katanya dalam sebuah wawancara di program “Face the Nation” CBS, Ahad (16/1/2022).

Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken baru-baru ini turut melayangkan kritik serupa. Dia menyebut langkah Trump menarik AS dari kesepakatan nuklir Iran atau dikenal dengan Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) merupakan salah satu keputusan terburuk yang dibuat dalam kebijakan luar negeri Amerika baru-baru ini. Blinken menggambar hal tersebut sebagai “kesalahan besar”.

Presiden AS Joe Biden pun sempat menyampaikan bahwa pemerintahannya “terus menderita” akibat keputusan Trump terkait JCPOA. Saat ini AS, Iran, dan para pihak dalam JCPOA masih melakukan perundingan di Wina, Austria, untuk memulihkan kesepakatan tersebut. Pembicaraan telah berlangsung sebanyak delapan putaran.

Pemerintah Rusia mengungkapkan, negosiasi pemulihan JCPOA mengalami kemajuan. “Kami melakukan diskusi produktif tentang masalah paling sulit yang tersisa untuk diselesaikan,” kata kepala negosiator nuklir Rusia, Mikhail Ulyanov, setelah bertemu Utusan Khusus AS untuk Iran Robert Malley, Rabu (12/1) pekan lalu, dikutip laman BNN Bloomberg.

Sama seperti Ulyanov, baru-baru ini Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Yves Le Drian turut mengungkapkan bahwa beberapa kemajuan telah tercapai dalam pembicaraan pemulihan JCPOA. Kendati demikian, dia menyebut, konsensus para pihak untuk menghidupkan kembali JCPOA masih terbilang jauh. “Sedikit kemajuan (dalam negosiasi) telah dicapai pada akhir Desember (2021). Tapi kami masih jauh dari menyelesaikan negosiasi ini,” kata Le Drian saat menghadiri rapat dengar pendapat dengan parlemen Prancis, Selasa (11/1/2022) pekan lalu.

Le Drian menjelaskan, saat ini pembicaraan pemulihan JCPOA masih berlangsung, walaupun perkembangan atau kemajuannya sangat lambat. “(Kelambatan) itu menciptakan celah yang membahayakan peluang menemukan solusi yang menghormati kepentingan semua pihak,” ucapnya.

JCPOA terancam bubar setelah Trump menarik negaranya dari kesepakatan tersebut pada November 2018. Trump berpandangan JCPOA "cacat" karena tak turut mengatur tentang program rudal balistik dan peran Iran di kawasan. Trump kemudian memberlakukan kembali sanksi ekonomi terhadap Teheran. Sejak saat itu Iran tak mematuhi ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam JCPOA, termasuk perihal pengayaan uranium.

Baca Juga


BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler