Legislator Cecar Menkes Soal Regulasi Vaksin Booster
Sejumlah anggota Komisi IX DPR mempertanyakan regulasi vaksin booster Covid-19
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah anggota Komisi IX DPR mempertanyakan regulasi vaksin booster Covid-19 kepada Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin. Anggota Komisi IX DPR, Aliyah Mustika Ilham, mempertanyakan dasar kebijakan booster yang telah dimulai pemerintah pada 12 Januari 2022 lalu.
"Pak menteri, saya mengingatkan, di RDP kita pada tanggal 14 Desember tahun 2021 kemarin, pada kesimpulan di nomor tiga itu kita menyepakati bahwa pelaksanaan booster ini harus didasari oleh regulasi," kata Aliyah dalam rapat kerja Komisi IX dengan Kemenkes hari ini, Selasa (18/1/2022)
Politikus Partai Demokrat itu juga mempertanyakan dasar pemerintah menentukan booster antara homolog dan heterolog. Selain itu dirinya juga mempertanyakan dilibatkan atau tidaknya para ahli oleh Kemenkes dalam perumusan regulasi booster tersebut.
"Apakah para ahli kita seperti dari universitas, ITAGI, maupun organisasi profesi sudah dilibatkan untuk duduk bersama membuat kebijakan ini? Dan sampai sekarang saya belum melihat ada regulasi khusus yang dikeluarkan oleh kementerian kesehatan terkait vaksinasi booster ini," ujarnya.
Hal senada juga disampaikan Anggota Komisi IX Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Saleh Partaonan Daulay. Saleh menilai Kemenkes belum menindaklanjuti kesimpulan rapat 14 Desember lalu dengan baik.
"Saya ingin kasih catatan, yang pertama, dijelaskan bahwa kita ingin agar Kemenkes pada kesimpulan itu memberikan dukungan kepada daerah-daerah yang vaksinasinya di bawah 70 persen. Karena faktanya sampai sekarang masih banyak di daerah-daerah yang vaksinasinya di bawah 70 persen. Bahkan dosis kedua saja baru 57, sekian persen kan tadi. Ini berarti kan belum selesai," tuturnya.
Kemudian dirinya juga meminta rincian kebutuhan vaksin dan strategi pengadaan program booster maupun anak. Ketua Fraksi PAN itu juga meminta rincian siapa produsennya, kapan datangnya, serta bagaimana distribusinya. Kemudian Saleh juga meminta supaya Kemenkes membuat regulasi terkait dengan vaksin booster.
"Saya tidak tahu, regulasinya sudah ada atau belum? Atau mungkin belum tersosialisasi? Jangan sampai nanti boosternya sudah berjalan, ternyata aturan mainnya tidak ada," tegasnya.
Menjawab itu, Budi mengatakan basis pengambilan vaksin heterolog dan setengah dosis dilakukan berdasarkan riset-riset dari luar negeri. Pemberian vaksin heterolog dilakukan untuk memberikan perlindungan ganda.
"Kemudian apakah setengah dosis sudah ada, ada bapak ibu, penelitian setengah dosis, mungkin negara yang paling besar yang sudah melakukan adalah Amerika Serikat dengan setengah dosisnya Moderna karena memang Moderna itu kipinya tinggi. Jadi kita melihat bahwa diberikan setengah dosis akan jauh lebih aman," jelasnya.
Budi menjelaskan alasan Kemenkes mengambil kebijakan pemberian vaksin booster setengah dosis merupakan atas rekomendasi dari ITAGI, Selain itu ada juga uji klinis dari konsorsium profesor-profesor UNPAD-UI, dan juga sudah disetujui oleh BPOM.
"Karena setelah kita lihat, rata-rata kalau primer itu mungkin 100-200 sudah tinggi sekali titer antibodinya, begitu dia disuntik booster setengah dosis itu naik ke level 7 ribu- 8 ribu. Dikasih satu dosis 8 ribu 8.500 sampai mungkin ada yang 9 ribu, jadi perbedaannya di level 7.500 sampai 9 ribu yang sebenarnya kalau kita ingat plasma konvalesen itu memberikan proteksi dulu di level 250," terangnya.
"Jadi kalau ada vaksin ini setengah dosis, vaksin itu satu dosis, kita jadi agak lihat di operasionalnya akan lebih sulit sehingga kita standarisasikan semuanya setengah dosis dengan alasan itu tadi karena itu masukan dari ITAGI dan BPOM demikian," imbuhnya.