Bandingkan Perlakuan Terhadap FPI, Paguyuban Warung Madura Minta Ormas Pungli Dibubarkan
Sebagaimana tegas kepada FPI, pemerintah harus tegas bubarkan ormas pungli.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Abdul Hamied, salah satu pemilik Warung Madura mengungkapkan kegeramannya pada aksi pungutan liar (pungli) yang disinyalir dilakukan oleh organisasi masyarakat (ormas) terhadap pedagang atau pelaku UMKM. Ia meminta pemerintah memberikan sanksi atas aksi-aksi premanisme yang meresahkan masyarakat seperti maraknya pungli.
Lebih konkret, menurut hemat Hamied, ormas-ormas yang sudah jelas melakukan aksi pungli terhadap masyarakat, terutama para pedagang dan UMKM, sebaiknya dibubarkan.
“Saya harap ditegakkan hukum ya. Kalau dulu pemerintah tegas terhadap FPI, harus tegas juga terhadap ormas-ormas yang sudah ketahuan dari dulu track record-nya atau sudah menjadi common sense sebagai masalah premanisme, menurut saya harus tegas dibubarin,” ungkap Hamied, -yang juga merupakan Ketua Paguyuban Warung Madura- kepada Republika, Rabu (12/2/2025).
Hamied menuturkan, jangan kemudian para ormas-ormas tersebut justru diberi perhatian oleh pemerintah, dengan dalih membina ormas demi kebermanfaatan bagi bangsa.
“Enggak ada itu manfaatnya! Mereka yang ada meresahkan warga,” tegasnya.
Hamied menyebut Pemerintah harus memberikan atensi untuk menangani persoalan pungli yang kian marak. Mengingat ada banyak masyarakat yang menjadi korban. Seperti adanya informasi dari Himpunan Kawasan Industri (HKI) Indonesia yang menyatakan mengalami kerugian hingga ratusan triliun rupiah akibat investasi yang batal dan keluar dari kawasan industri dampak dari premanisme ormas.
“Ini atensi lah menurut saya bagi pemerintah Prabowo untuk membereskan persoalan ini. Sebetulnya premanisme ini sudah betul-betul meresahkan, apalagi sampai ada kabar bahwa investasi gagal gara-gara itu. Ya pasti, karena di bawah itu (akar rumput), sudah dicekik oleh mereka jauh-jauh lama,” tutur Hamied.
Berdasarkan pengakuan Hamied, ia juga kerap didatangi sekelompok orang atas nama ormas yang meminta iuran. Ia mengatakan, para pemilik UMKM adalah yang paling banyak mengalami pungli.
Hamied mengungkapkan bahwa pungli yang dilakukan oleh sekelompok orang tersebut berkedok iuran keamanan atau pembinaan. Mereka mengaku sebagai ‘pemuda sini’ atau ‘masyarakat sini’ yang menyebut akan mengamankan kegiatan bisnis warungnya. Ada sejumlah uang yang kerap diminta oleh para pelaku. Dalam prakteknya, para pelaku kadangkala menggunakan seragam ormas dan membawa surat lengkap dengan kop atau logo ormasnya.
“Biasanya mereka minta iuran paksa rutin bulanan. Iuran paksa atas nama ormas, bilangnya pembinaan segala macam. Pertama saya okein karena mintanya Rp 50 ribu (per bulan), tapi lama-lama mereka naikin minta jadi Rp 100 ribu—Rp 200 ribu,” ungkapnya.
Berdasarkan pengalamannya itu, Hamied mengaku dirinya melakukan perlawanan ketika pelaku meminta iuran yang lebih tinggi. Ia tak segan-segan mengajak pelaku pungli untuk berduel.
Menurut penuturannya, para pelaku pungli tersebut kerap berdalih bahwa uang iuran keamanan atau pembinaan tidak lain akan mengalir pula manfaatnya kepada masyarakat. Terlebih para pelaku pungli itu tahu bahwa Hamied merupakan seorang pendatang.
Lebih lanjut, menurut cerita Hamied, ormas yang kerap mendatangi warung-warung untuk meminta pungutan berasal dari lebih dari satu organisasi. Sehingga, jika diladeni, iuran yang tidak resmi itu menjadi semakin merogoh kocek para pedagang.
Kondisi itu dinilai semakin meresahkan para pedagang, meski dalih para pelaku adalah untuk ‘mengamankan’, nyatanya tidak aman karena juga akan diganggu ormas-ormas lainnya yang tidak mendapatkan hasil iuran.
Lantas, aksi gedor-gedor hingga perusakan barang pun bisa terjadi. Tak hanya itu, pemaksaan yang menjurus pada perampokan pun tak segan dilakukan. Tak ayal, kadang terjadi aksi saling bacok, dan berpotensi menimbulkan korban jiwa.
Hamied menegaskan bahwa aksi premanisme yang dilakukan oleh ormas tersebut sangat mengganggu para pedagang atau UMKM. Sehingga diharapkan pemerintah memberikan atensi terhadap aksi-aksi yang meresahkan masyarakat tersebut.
“Karena ini sangat, sangat, sangat mengganggu,” tegas Hamied.
Isu pungli kembali dinilai sebagai salah satu hambatan utama dalam menarik investasi ke Indonesia. Peneliti Makroekonomi dan Pasar Keuangan, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) mengkritisi maraknya praktik pungli yang meningkatkan biaya berbisnis dan menghambat investasi asing.
"Pungli ini saya rasa sudah cukup mengkhawatirkan karena biaya berbisnis di Indonesia ini kan relatif mahal dan aktivitas rent seeking (pemburu rente) juga banyak terjadi baik di level nasional maupun di level subnasional," ujar Riefky saat dihubungi Republika di Jakarta, Rabu (12/2/2025).
Riefky menilai praktik pungli telah menciptakan lingkungan bisnis yang tidak kondusif. Riefky menekankan biaya investasi pun menjadi lebih tinggi akibat maraknya aktivitas perburuan rente di berbagai tingkat pemerintahan. Riefky menyampaikan tingginya ongkos investasi di Indonesia juga diakui Bank Dunia.
"Survei Bank Dunia menunjukkan bahwa berbagai biaya, seperti perizinan dan penyelesaian sengketa di pengadilan, di Indonesia lebih tinggi dibandingkan negara lain," ucap Riefky.
Riefky menilai data tersebut yang menunjukkan besarnya aktivitas perburuan rente di Indonesia. Kondisi ini yang membuat iklim investasi Indonesia tidak sebaik negara lain.
"Belum lagi kalau kita bicara aspek penegakan hukum yang relatif masih tertinggal dibandingkan negara-negara lain," lanjut Riefky.
Riefky menyampaikan isu pungli telah menjadi perbincangan hangat bagi kalangan pengusaha maupun masyarakat. Riefky mendorong pemerintah mengambil langkah tegas memberantas pungli dan memperbaiki kepastian hukum guna meningkatkan daya tarik investasi di Indonesia.
"Jadi memang ini menjadi isu bagaimana kita menarik investasi asing ke Indonesia. Salah satunya ini pungli yang cukup dirasakan banyak pengusaha, pun kalau kita dengar dari berbagai anecdotal evidence di masyarakat," kata Riefky.