WHO: 18 Juta Kasus Tercatat di Seluruh Dunia Selama Sepekan

Dunia masih dapat mengurangi efek omicron dengan penerapan protokol kesehatan baik.

ANTARA/Nyoman Hendra Wibowo
Vaksinator menyuntikkan vaksin COVID-19 dosis ketiga kepada lansia saat pencanangan vaksinasi Booster COVID-19 di RSUD Wangaya, Denpasar, Bali, Jumat (14/1/2022). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat 18 juta kasus pekan lalu ketika varian omicron melanda dunia.
Rep: Fergi Nadira Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, 18 juta kasus pekan lalu ketika varian omicron melanda dunia. WHO juga mengingatkan, masyarakat di negara-negara dengan tingkat vaksinasi virus corona yang rendah berisiko mengalami penyakit parah dan kematian.


"Jumlah kematian tetap stabil untuk saat ini tetapi kami khawatir tentang dampak omikron terhadap petugas kesehatan yang sudah kelelahan dan sistem kesehatan yang terbebani," ujar Direktur WHO Tedros Ghebreyesus pada webinar tentang pandemi seperti dilansir laman Anadolu Agency, Rabu (19/1/2022). 

"Jangan salah, omicron menyebabkan rawat inap dan kematian, bahkan kasus yang tidak parah membanjiri fasilitas kesehatan," imbuhnya.

Menurutnya, di negara-negara di mana kasus tampaknya telah mencapai puncaknya, ini memberikan harapan bahwa gelombang terburuk terbaru telah berakhir, namun belum ada negara yang keluar dari masalah.

"Saya tetap sangat prihatin dengan banyak negara yang memiliki tingkat vaksinasi rendah, karena orang-orang berkali-kali lebih berisiko terkena penyakit parah dan kematian jika mereka tidak divaksinasi," kata Tedros.

Dia memperkuat komentar dari pejabat WHO lainnya yang berbicara di webinar dengan menegaskan kembali, sebagian besar rawat inap dan kematian akibat virus corona berasal dari kalangan yang tidak divaksinasi.

"Omicron mungkin kurang parah, rata-rata, tentu saja, tetapi narasi bahwa itu adalah penyakit ringan menyesatkan, merusak respons secara keseluruhan, dan menelan lebih banyak nyawa," kata Tedros. "Virus ini beredar terlalu intens dengan banyak yang masih rentan."

 

Tedros juga mengatakan, beberapa pekan ke depan masih melihat kritis bagi petugas kesehatan dan sistem kesehatan di banyak negara. Dia mendesak semua orang melakukan yang terbaik untuk mengurangi risiko infeksi untuk membantu menghilangkan tekanan dari sistem."Sekarang bukan waktunya menyerah dan mengibarkan bendera putih," kata Tedros.

Dia mengatakan, dunia masih dapat secara signifikan mengurangi efek gelombang saat ini dengan berbagi alat kesehatan secara efektif dan menerapkan langkah-langkah kesehatan dan sosial masyarakat yang telah dicoba dan benar. Dia mengutip COVAX, sebuah fasilitas yang dikembangkan oleh WHO untuk mengurangi ketidakadilan vaksin, dan mitra seperti Gavi, sebuah aliansi untuk membantu mendistribusikan vaksin.

"Saya bangga COVAX mengirimkan dosis satu miliarnya selama akhir pekan," kata Tedros. "Tentu saja, itu tidak cukup, dan kita harus berbuat lebih banyak."

Menurut Tedros, tetap lebih penting dari sebelumnya untuk memberikan vaksin kepada yang tidak divaksinasi pada saat omicron. "Pandemi ini belum berakhir, dan dengan pertumbuhan omicron yang luar biasa secara global, varian baru kemungkinan akan muncul, itulah sebabnya pelacakan dan penilaian tetap penting," katanya.

"Saya khawatir jika kita tidak mengubah model saat ini, kita akan memasuki fase kedua dan bahkan lebih merusak dari ketidaksetaraan vaksin," tukasnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler