Ironi Pandemi, Teknologi Berkembang Pesat tapi tak Semua Orang Bisa Akses

Pandemi membuat kesenjangan digital semakin terlihat.

ANTARA/Wahdi Septiawan
Pelajar melihat halaman situs Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) melalui telepon gengggam saat pendaftaran PPDB di SMKN 3 Kota Jambi, Jambi, Jumat (2/7/2021). Meski pendaftaran PPDB telah bisa dilakukan secara online, sejumlah wali murid dan calon siswa di sekolah tersebut terpantau masih mendatangi sekolah karena mengaku kesulitan dengan sistem online.
Rep: Eric Iskandarsjah Z Red: Dwi Murdaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beberapa tren perkembangan digital telah muncul selama pandemi Covid-19. Ada berbagai macam teknologi digital yang muncul untuk mempermudah aktivitas.

Baca Juga


Namun di balik semua itu, masih ada kesenjangan digital yang begitu besar. Kesenjangan itu banyak terjadi di negara-negara kurang berkembang, terutama bagi perempuan.

Data Statistika pada Oktober 2020 menunjukkan, hanya satu dari lima orang di negara berkembang yang saat ini telah terkoneksi dengan komputer. Secara global, digital inklusivitas dapat diwujudkan dengan dengan tarif internet yang terjangkau, adanya digital literasi yang luas, akses konektivitas yang masif, dan ketersediaan perangkat yang cukup.

Di Washington DC, sekitar 30 persen anak sekolah tidak memiliki akses internet yang memadai untuk menunjang proses belajar.  Data dari Paw Research Center pada 2020 menyebutkan, sekitar 20 persen anak di AS tidak dapat menyelesaikan tugas akibat keterbatasan akses internet.

Selain itu, tingkat kehadiran sekolah daring secara umum di AS pada April 2020 tercatat berada di bawah 80 persen.  Di Australia, tercatat berbagai kelompok masyarakat yang memiliki kerentanan dalam penguasaan kecakapan digital, di antaranya orang dengan disabilitas, perempuan, keluarga berpendapatan rendah, masyarakat di atas 65 tahun, warga imigran, dan warga yang tinggal di kawasan rural.

Kesenjangan digital juga terjadi di Inggris. Beberapa wilayah yang masih mengalami kesenjangan digital, di antaranya Shropshire dan Mid Wales.

Dikutip dari Shropshire Star, kesenjangan digital di dua wilayah itu terjadi karena minimnya keterampilan digital. Hal ini terjadi karena memang masih ada masyarakat yang belum akrab dengan sejumlah layanan yang bisa diakses secara digital.

Hal ini pun mendapat sorotan dari Rural England CIC (Community Inte rest Company). Perusahaan sosial itu menilai, kesenjangan digital masih terjadi karena minimnya investasi jaringan serta pelatihan digitalisasi.

Dalam laporan Rural England CIC yang berjudul State of Rural Services 2021: The Impact of the Pandemic, masih banyak masyarakat di Inggris yang dipaksa oleh pandemi untuk me ngenal layanan daring. Artinya, masyarakat itu merupakan masyarakat yang baru pertama kali menggunakan sejum lah layanan digital untuk berbelanja dan mengakses layanan lainya.

 

Dari riset itu, dijabarkan bahwa sekitar 25 persen masyarakat adalah digital first-timer dan menggunakan jalur digital untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Selain itu, 15 persen di antaranya menggunakan akses digital untuk layanan perbankan.

Anggota Dewan Shropshire, Heather Kidd, me ngatakan, kondisi itulah yang memperlebar kesenjangan di Inggris. Sebagai firsttimer yang minim pelatihan, tentu ma syarakat menjadi sulit untuk melakukan adaptasi saat pandemi membuat sejum lah layanan hanya bisa diakses lewat jalur daring.

"Kondisi ini tak hanya memengaruhi individu, tapi juga memengaruhi sejumlah bisnis yang dijalankan oleh masyarakat," kata Kidd.

Sebab, masyarakat tak hanya dituntut untuk menikmati layanan secara digital tapi juga harus bisa menjalankan bisnisnya secara digital. Kondisi ini pun mendorong Kidd untuk memberikan pelatihan soal penggunaan smartphone.

Ia juga membuat pelatihan mengirim surel dan mengisi formulir secara daring. Meskipun ba nyak masyarakat yang telah meng gunakan media sosial, ia tetap harus memberikan pelatihan ini karena masih banyak masyarakat yang belum menggunakan surel dan akrab dengan sejumlah layanan digital.

Di satu sisi, ia juga menyadari bahwa masyarakat juga dihantui oleh besarnya biaya yang dibutuhkan untuk bisa menikmati layanan secara digital. Mengingat, sebagian masyarakat menggunakan akses internet yang dibayar dengan skema pay-as-you-go.

 

Artinya, makin sering masyarakat mengakses layanan internet dan makin banyak data yang diakses, tagihan in ternetnya juga bisa membengkak. Bagi sebagian masyarakat, tentu ini menjadi persoalan besar dan membuat disparitas data menjadi makin nyata. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler