AS akan Kerahkan Pasukan ke Eropa Timur
Biden akan mengirim pasukan Amerika ke Eropa Timur dan negara-negara NATO.
REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden akan mengirim pasukan Amerika ke Eropa Timur dan negara-negara NATO. Hal ini diungkapkan Biden beberapa hari setelah Pentagon menempatkan ribuan tentara dalam siaga tinggi, di tengah ketegangan antara Rusia dan Ukraina.
"Saya akan memindahkan pasukan AS ke Eropa Timur dan negara-negara NATO dalam waktu dekat," kata Biden dilansir Anadolu Agency, Ahad (30/1).
Sebelumnya Pentagon mengatakan, 8.500 tentara telah disiagakan jika NATO mengaktifkan Pasukan Responsnya atau jika situasi keamanan di Eropa semakin memburuk. Juru bicara Departemen Pertahanan John Kirby mengatakan, pasukan angkatan darat akan dikerahkan ke Eropa jika diperlukan, termasuk logistik, medis, penerbangan, intelijen, pengawasan dan pengintaian serta transportasi.
Keputusan untuk menempatkan pasukan dalam keadaan siaga muncul di tengah meningkatnya ketegangan di Eropa timur, ketika Barat dan NATO menuduh Rusia mempersiapkan invasi ke Ukraina. Rusia telah mengerahkan lebih dari 120 ribu tentara di perbatasan Ukraina. Rusia juga mengerahkan tank dan artileri.
Rusia menyangkal tuduhan bahwa mereka sedang mempersiapkan invasi. Rusia mengatakan, mereka mengerahkan pasukan untuk latihan rutin.
Rusia pada Jumat (28/1) mengirimkan sinyal bahwa mereka bersedia untuk terlibat dengan proposal keamanan Amerika Serikat. Rusia menegaskan kembali bahwa mereka tidak menginginkan perang dengan Ukraina.
"Jika itu tergantung pada Rusia, maka tidak akan ada perang. Kami tidak menginginkan perang. Tetapi kami juga tidak akan membiarkan kepentingan kami diinjak-injak secara kasar, dan diabaikan," ujar Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov kepada stasiun radio Rusia dalam sebuah wawancara.
Rusia telah mengerahkan puluhan ribu tentara di dekat perbatasan Ukraina, dan mendesak permintaan untuk mengatur ulang pengaturan keamanan pasca-Perang Dingin di Eropa. Amerika Serikat dan sekutunya telah memperingatkan bahwa, Rusia akan menghadapi sanksi ekonomi yang keras jika menyerang Ukraina.
Lavrov mengatakan, Barat telah mengabaikan kepentingan Rusia. Lavrov berharap dapat melakukan pertemuan berikutnya dengan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dalam beberapa minggu ke depan. Lavrov mengatakan, Rusia sedang mempelajari proposal AS dan Presiden Vladimir Putin akan menanggapinya.
Komentar Lavrov merupakan pernyataan Rusia yang paling mendamaikan mengenai krisis Ukraina. Krisis ini telah meningkat menjadi salah satu kebuntuan Timur-Barat yang paling tegang sejak Perang Dingin berakhir tiga dekade lalu.
Pemimpin Belarusia Alexander Lukashenko yang merupakan sekutu dekat Rusia mengatakan, negaranya sama sekali tidak tertarik pada perang. Menurutnya, konflik akan pecah jika Belarus atau Rusia diserang secara langsung. Di sisi lain, Prancis menyerahkan keputusan di tangan Presiden Putin.
"Terserah Vladimir Putin untuk mengatakan apakah dia menginginkan konsultasi atau konfrontasi," kata Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Yves Le Drian kepada radio RTL.
Pada Rabu (26/1) lalu AS dan NATO mengirimkan respons tertulis pada tuntutan Rusia untuk menarik perjanjian keamanan pasca-Perang Dingin di Eropa. Tuntutan tersebut disampaikan setelah Moskow menumpuk pasukannya dekat Ukraina.
Washington menolak permintaan Moskow tentang jaminan Ukraina tidak akan bergabung dengan Organisasi Pertahanan Atlantik Utara (NATO). AS menilai apa yang diminta Rusia bisa secara efektif merusak “kebijakan pintu terbuka” NATO yang sudah lama ada.
“Kami akan menjunjung tinggi prinsip pintu terbuka NATO. Pintu NATO terbuka, tetap terbuka, dan itu adalah komitmen kami,” kata Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dalam sebuah pernyataan.
Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan Moskow butuh waktu untuk meninjaunya dan tidak akan buru-buru menyimpulkan. Tapi pernyataan AS dan NATO yang menggambarkan tuntutan utama Rusia tidak bisa diterima, dan tidak meninggalkan banyak ruang pada optimisme.