Rusia Minta NATO Setop Sebarkan Histeria Soal Konflik Ukraina
Hubungan Ukraina dengan Rusia telah memanas sejak Februari 2014.
REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW – Rusia meminta negara-negara Organisasi Pertahanan Atlantik Utara (NATO) berhenti menyebarkan histeria terkait konflik di Ukraina. Moskow pun menyerukan mereka menyetop pasokan senjata ke Kiev.
“Sekali lagi, kami menyerukan kepada negara-negara NATO untuk berhenti mengobarkan histeria di sekitar konflik Ukraina dan menghentikan pasokan militer ke dan mendukung Kiev sebagai salah satu pihak yang bertikai di Ukraina Timur," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakhrova pada Jumat (4/2/2022), dikutip laman kantor berita Rusia, TASS.
Dia menekankan, perluasan bantuan militer ke Ukraina memperumit pencarian solusi damai untuk konflik di Donbass. "Kami berharap pihak berwenang Ukraina akan berhenti secara membabi buta mengikuti patron NATO mereka, karena ini bukan jalan menuju jurang maut tetapi turun dari jurang maut," ucapnya.
Menurut Zakharova, Rusia juga melakukan segala upaya untuk membawa Amerika Serikat dan NATO kembali ke komitmen mereka, termasuk di bidang keamanan serta stabilitas strategis yang telah mereka tanda tangani. AS dan NATO menuding Rusia memiliki intensi untuk melancarkan agresi ke Kiev. Hal itu sehubungan dengan langkah Moskow mengerahkan lebih dari 100 ribu tentaranya ke perbatasan Ukraina. Rusia telah membantah tuduhan tersebut. Meski demikian, Washington dan NATO sudah menyatakan dukungannya terhadap Ukraina.
Hubungan Ukraina dengan Rusia telah memanas sejak Februari 2014, yakni ketika massa antipemerintah berhasil melengserkan mantan presiden Ukraina yang pro-Rusia, Viktor Yanukovych. Dia dimakzulkan setelah gelombang demonstrasi berlangsung tanpa henti selama tiga bulan.
Massa memprotes keputusan Yanukovych membatalkan kerja sama dengan Uni Eropa. Keputusan tersebut ditengarai akibat adanya tekanan Moskow. Rusia memang disebut tak menghendaki Kiev lebih dekat atau bergabung dengan Uni Eropa.
Ukraina membentuk pemerintahan baru pasca-pelengseran Yanukovych. Namun Rusia menentang dan memandang hal tersebut sebagai kudeta. Tak lama setelah kekuasaan Yanukovych ditumbangkan, Moskow melakukan aksi pencaplokan Semenanjung Krimea.
Kala itu terdapat kelompok pro-Uni Eropa dan pro-Rusia di Ukraina. Kelompok separatis pro-Rusia merebut sebagian besar dua wilayah timur Ukraina yang dikenal sebagai Donbass. Pertempuran pun berlangsung di sana. Hingga kini, ketegangan masih terjadi di wilayah tersebut.