Minyak Goreng yang Masih Langka, Buah Kebijakan yang Berubah Terlalu Cepat
GAPKI nilai perubahan kebijakan minyak goreng buat produsen butuh waktu beradaptasi.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Dedy Darmawan Nasution
Wakil Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Toga Sitanggang menyebutkan bahwa kelangkaan minyak goreng di pasaran dan minimnya ketersediaan diakibatkan adanya perubahan kebijakan yang cepat. Akibatnya pelaku industri dari hulu ke hilir butuh waktu untuk merespons.
"Kami bisa melihat bahwa sebenarnya tidak ada kelangkaan bahan baku. Sebab dari total produksi konsumsi dalam CPO negeri baru mencapai 36 persen," kata Toga, kepada wartawan di Surabaya, Kamis (10/2/2022).
Toga yang sebelumnya berbicara dalam webinar yang digelar PWI Jatim menegaskan, bahwa tuduhan pemilik komoditas CPO menjadikan pasokan minyak goreng minim karena lebih suka untuk ekspor tidak benar. Menurut data yang ditunjukkan, ekspor CPO tahun 2021 bahkan menurun, dengan total ekspor mencapai 33 juta ton. Padahal, ekspor CPO pada 2020 mencapai 34 juta ton.
"Yang menjadi masalah, produsen minyak goreng seperti dia harus mengalami kebingungan setelah pemerintah beberapa kali mengubah kebijakan. Padahal, setiap ada perubahan, pelaku industri butuh waktu beberapa hari untuk menyesuaikan dengan sistem mereka," katanya.
Toga mencontohkan, saat Kementerian Perdagangan sudah mengumumkan aturan baru sebanyak tiga kali dalam satu bulan, yakni awal diumumkan tanggal 12 Januari 2022. Lalu, 19 Januari 2022. Terakhir, diubah lagi pada di akhir bulan. "Tentu kami sebagai pelaku industri juga butuh waktu mengaplikasikan hal tersebut," katanya.
Sedangkan untuk kembali menormalkan arus komoditas, produsen harus berkoordinasi dengan distributor lalu lanjut ke tahap peritel lalu kembali lagi. Sehingga waktu yang dibutuhkan cukup lama sekitar satu minggu. Meski demikian, dia meminta agar masyarakat tenang, karena faktor terbesar dalam kelangkaan sebenarnya oknum penimbun serta masyarakat yang akhirnya panik.
"Kami yakin bahwa masalah ini bakal segera diselesaikan selama kebijakan dan distribusi bisa diselaraskan. Dari perusahaan saya sendiri sudah memasok kok. Cuma saya tidak bisa bicara mengenai perusahaan lainnya," katanya.
Sementara itu, Pengamat Ekonomi Universitas Airlangga, Imron Mawardi mengakui, masih banyak sistem di industri kelapa sawit Indonesia yang menjadi pertanyaan. Salah satunya sampai saat ini harga bahan baku CPO yang dicantumkan dalam ongkos produksi minyak goreng domestik dihitung berdasarkan harga pasar global, dan belum jelas sebenarnya berapakah jumlah ongkos produksi perkebunan kelapa sawit.
Imron mengaku juga belum tahu apakah harga CPO senilai Rp 9.300 yang ditetapkan pemerintah bakal menghilangkan margin petani. Namun, Imron mengakui, bahwa kasus kelangkaan minyak goreng harusnya tak sama seperti kasus gula, kedelai, atau garam.
Sebab, komoditas lainnya harus dipasok melalui impor, sedangkan minyak goreng di Tanah Air cukup melimpah, dan Indonesia merupakan salah satu produsen terbesar di dunia. "Selama implementasi dan pengawasan distribusi benar. Saya rasa masalah ini tak akan bertahan lama," katanya.
Sementara itu Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengakui kelangkaan minyak saat ini disebabkan pedagang masih dalam proses penyesuaian harga minyak goreng dengan masing-masing distributor. Karena itu pasokan minyak goreng murah yang sesuai dengan harga eceran tertinggi (HET) masih terbatas.
"Proses ini cukup memakan waktu dan kami akui adanya kendala teknis di lapangan," kata Direktur Bahan Penting dan Pokok Kemendag Isy Karim, Kamis (10/2/2022). Ia menjelaskan, kendala yang ditemukan terutama ketersediaan pasokan yang tidak merata.
Selain itu, berdasarkan data dashboard yang dipantau Kemendag, dari 101,8 juta liter purchase order (PO) minyak goreng yang diterbitkan toko ritel periode Januari-Februari, realisasinya masih kecil. Tercatat hingga Selasa (8/10/2022), realisasinya baru sebanyak 11,55 juta liter yang terkirim.
Di sisi lain, adanya kondisi panic buying dari masyarakat menyebabkan lonjakan pemrintaan yang turut menyebabkan kekosongan stok minyak goreng di berbagai toko ritel modern sejumlah daerah. Isy Karim mengatakan, untuk mempercepat penyediaan minyak goreng sesuai dengan harga HET, Kemendag tengah melakukan berbagai upaya agar minyak goreng cepat tersedia di masyarakat.
Antara lain dengan melakukan harmonisasi antara pasokan minyak sawit DOMO dari eksportir kepada produsen minyak goreng di dalam negeri untuk pemenuhan pasokan bahan baku. Di satu sisi, turut memfasilitasi pengemas dengan produsen olein maupun CPO untuk percepatan penyediaan minyak goreng sesuai dengan HET.
"Pasokan dari 20 persen Kuota DMO 14 Eksportir yang telah memperoleh Persetujuan Ekspor (PE) CPO 112.400 ton dan Olein 65.585 ton atau setara dengan lebih dari 185 juta liter minyak goreng yang akan segera masuk ke pasar," ujarnya.
Wakil Ketua MPR RI Zulkifli Hasan meminta instansi terkait untuk segera mengatasi masalah minyak goreng di pasaran yang justru mengalami kelangkaan setelah adanya kebijakan satu harga dan disusul dengan kebijakan tiga harga. "Pandemi ini membuat masyarakat kita banyak yang susah. Oleh karena itu Pak Presiden Joko Widodo sudah instruksi harga minyak goreng itu satu harga untuk rakyat," kata Zulkifli, Kamis.
Namun justru kini masih terjadi kelangkaan dan harganya belum stabil. Ia mengharapkan pemerintah segera bertindak, terutama terhadap kemungkinan adanya penimbunan minyak goreng.
"Harus ditindak kalau ada penimbunan atau kenapa tidak jalan. Pak Presiden sudah dua kali perintah ini, masa tidak patuh," kata Zukifli.
Pemerintah sebelumnya telah menerapkan kebijakan minyak goreng satu harga Rp 14.000 per liter, kemudian kebijakan minyak goreng tiga harga yakni minyak goreng curah sebesar Rp 11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp 13.500 per liter, dan minyak goreng kemasan premium Rp 14.000 liter. Akan tetapi setelah kebijakan tersebut dikeluarkan, masyarakat kesulitan mendapatkan minyak goreng karena terjadi kelangkaan di pasaran.
Bahkan sejumlah pedagang di Pasar Manis, Purwokerto, Kabupaten Banyumas, juga sulit mendapatkan pasokan minyak goreng murah tersebut untuk dijual kepada konsumen. Salah seorang pedagang di Pasar Manis Purwokerto, Icuk mengaku telah didatangi oleh tenaga pemasaran dari salah satu produsen minyak goreng kemasan premium dan menginformasikan jika akan segera mengirimkan minyak goreng yang dipesan.
Akan tetapi setelah ditunggu sampai saat sekarang, kata dia, minyak goreng yang telah dipesan tidak kunjung datang. "Kemarin katanya, harga minyak gorengnya dari sana cuma Rp 13.500 per liter dan ada juga merek lainnya yang ditawarkan dengan harga Rp 12.500 per liter. Tapi sampai sekarang tidak kunjung datang," katanya.
Pedagang lainnya, Cikem mengakui kesulitan mendapatkan pasokan minyak goreng untuk bisa dijual di Pasar Manis. Kalaupun ada, kata dia, harga minyak goreng yang ditawarkan belum sesuai dengan harga yang ditetapkan pemerintah.
"Katanya ada subsidi, dimurahkan, tapi ternyata barangnya tidak ada. Jadi susah cari minyak goreng, banyak konsumen yang minta minyak goreng murah, tapi harganya belum stabil," katanya.
Di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, para pedagang sembako di sejumlah pasar tradisional hingga kini masih menjual minyak goreng dengan harga lama yaitu sebesar Rp 20.000 per liter karena mereka tidak ingin merugi. Sejumlah pedagang sembako di Batang, Kamis, mengatakan bahwa stok minyak goreng yang dijual para pedagang sembako adalah dari pembelian saat harga komoditas itu melambung sehingga dijual konsumen dengan harga lama.
"Kami tidak ingin merugi meski harga minyak goreng sudah dijual di pasaran Rp 14.000 per liter. Ya, jika dijual Rp 15.000 per liter, tidak apa lah meski untungnya sedikit sekali," kata pedagang sembako Rini.
Ia mengatakan sudah sepekan stok minyak goreng kemasan masih langka sehingga konsumen tidak memprotes meski harganya dijual lebih dari Rp 14 ribu per liter. "Konsumen memang banyak yang mencari minyak goreng kemasan namun kehabisan stok. Oleh karena itu, konsumen tidak banyak memprotes meski minyak goreng dijual lebih dari Rp 14.000 per liter," katanya.