Lapangan Onta dan Lapangan Banteng: Ketika Menjadi Politisi Bukan Mencari Pekerjaan
Etika dan selera politisi Indonesia yang kini semakin rendah
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ridwan Saidi, Politisi Senior, Sejarawan Senior, dan Budayawan Betawi.
Dalam kampanye PKI pemilu 1955 di lapangan Banteng, DN Aidit berkata, "Lapangan ini dulu bernama lapangan Singa, di jaman merdeka berganti dengan lapangan Banteng. Awas kawan-kawan, jangan sampai Masyumi menang pemilu, kalau mereka menang, lapangan Banteng diganti namanya jadi lapangan Onta."
Mendengar pernyataan Aidi, pada PKI pada ketawa. Koran-koran kiri jadikan lapangan Onta sebagai banner headline.
Kemudian tiba giliran Masyumi kampanye di lapangan yang sama. KH Isa Anshari berpidato mengingatkan ummat Islan agar waspada terhadap kelakuan PKI yang suka serobot tanah, lalu mereka pasang papan Tanah Milik Rakyat. "Hati- hati jangan sampai PKI serobot lapangan Banteng." tukas Isa Anshari.
DN Aidit terpilih sebagai Ketua CC PKI menggantikan Tan Ling Djie pada Kongres PKI Maret 1954. Kongres juga memutuskan mengangkat Malenkov (PKUS) dan Mao Tse Tung (PKC) masing-masing sebagai Presidium Kehormatan CC PKI (lihat brosur Front Anti Komunis April 1954, red).
Usai pemilu 1955, DPR masih berkantor di Kemenkeu sekarang. Koran-koran menyiarkan foto Aidit dan Isa Anshari bersantap bareng di kantin DPR, lihat foto di atas.
Apa yang mempertemukan mereka berdua? Keduanya orang Sumatera. DN Aidit itu aslinya bernama Djafar Na'im Aidit. Djafar namanya, Na'im ayah kandungnya. Aidit nama bapak tirinya. Selebihnya dari keduanya cuma perbedaan yang ada.
Lepas dari soal Aidit, di jaman yang disebut demokrasi liberal, politik dipandang sebagai profesi. Berpolitik harus professional. TB Simatupang berkata politik itu seperti udara, ada di-mana-mana.
Karena itu memperlakukannya bukan sebagai job dalam bisnis. Bertemu dengan lawan politik bagian dari profesi. Ketika Bung Karno dalam pembuangan di Endeh, Tuan Hassan Bandung, lawan polemiknya, yang selalu mengirim biji jambu mede kegemaran BK (lihat Surat-Surat Islam dari Endeh,red).
Cerita Muchtar Lubis lain lagi. Suatu hari dia mau bertamu ke rumah Sutan Syahrir. Syahrir lagi asyik berbincang dengan tukang becak depan rumahnya di Jl Jawa, Menteng. Melihat Muchtar datang, Syahrir hanya gerakkan tangannya menyilakan Muchtar masuk seraya dia ngobrol terus dengan tukang becak.
Akhirnya Syahrir masuk rumah menemani tamunya.
Muchtar: "Cakap apa Bung dengan tukang becak tadi, interesting kali tampaknya."
Syahrir: :Dengar derita rakyat dari orang macam mereka lah."
Political behaviour Syahrir dan genre dia sesuai dengan tingkat peradabannya. Kala itu misalnya Dies Natalis ormas mahasiswa seperti HMI di jaman itu diramaikan orkes symphoni. Sebuah selera berkelas internasional.