Cara Pemerintah Turunkan Angka Kematian, Mendeteksi Dini Pasien Covid dengan Komorbid
Pasien komorbid tercatat rata-rata meninggal lima hari sejak masuk ke dalam rumah sak
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Dian Fath Risalah, Dessy Suciati Saputri
Pemerintah memperkuat interkoneksi data dengan BPJS Kesehatan untuk mendeteksi lebih dini pasien terkonfirmasi positif Covid-19 yang memiliki komorbid (penyakit penyerta). Tujuannya agar mereka mendapat penanganan lebih cepat, kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.
"Kita sudah melakukan kerja sama dengan BPJS agar semua yang komorbid bisa kita identifikasi lebih dini, jadi walaupun kasusnya ringan, bisa segera langsung masuk 'karpet merah' di rumah sakit-rumah sakit kita," kata Menkes, dalam konferensi pers terkait Hasil Ratas PPKM yang dipantau secara virtual di Jakarta, Senin (21/2/2022).
Menkes menjelaskan bahwa pasien terkonfirmasi positif Covid-19 yang memiliki penyakit penyerta akan mendapatkan perawatan yang lebih cepat sehingga potensi angka kematian tidak bertambah. Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan menjelaskan data BPJS Kesehatan terintegrasi dengan data penambahan kasus di NAR Kementerian Kesehatan.
"Sehingga jika ada penambahan kasus, langsung terdeteksi apakah orang tersebut komorbid atau tidak, dan respons tindakan bisa dilakukan secara cepat," katanya.
Ia menyebutkan bahwa hingga Senin (21/2), tercatat 2.484 pasien meninggal dunia, dengan 73 persen di antaranya belum melakukan vaksinasi dosis lengkap. Kemudian, 53 persen dari pasien yang meninggal dunia adalah lansia dan 46 persen memiliki penyakit penyerta atau komorbid.
Pasien komorbid tercatat rata-rata meninggal lima hari sejak masuk ke dalam rumah sakit. Jenis penyakit penyerta yang diderita pasien umumnya adalah diabetes melitus. Dalam ratas itu,Luhut menyampaikan bahwa Presiden meminta agar risiko kematian terhadap lansia, orang yang belum divaksin dan memiliki komorbid dapat ditekan semaksimal mungkin dengan penanganan yang baik.
Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengemukakan bahwa kasus kematian akibat Covid-19 merupakan indikasi adanya titik lemah dalam sistem kesehatan. "Satu kematian itu suatu studi yang harus dilakukan mendalam untuk mencari tahu apa titik lemah dari sistem di level masyarakat dan pemerintah," kata Dicky.
"Kita perlu ingat bahwa satu kasus kematian merupakan kontribusi dari banyak kasus infeksi di masyarakat. Setidaknya kalau bicara Delta, 100 kasus infeksi berkontribusi pada satu kasus kematian. Kalau untuk Omicron itu bisa lebih banyak lagi," katanya.
Menurut Dicky, satu kasus kematian akibat Covid-19 menandakan adanya keterlambatan dalam mendeteksi dini penularan penyakit pada masa wabah. Ia menyampaikan adanya keterbatasan dalam upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mendeteksi dini kasus penularan Covid-19, antara lain keterbatasan kemampuan melakukan pemeriksaan yang antara lain dipengaruhi oleh jumlah warga yang terinfeksi virus corona namun tidak mengalami gejala sakit.
Orang yang terinfeksi SARS-CoV-2 namun tidak mengalami gejala sakit bisa terlewat dari pemeriksaan sehingga tidak terdata sebagai penderita Covid-19 dan berisiko menularkan virus kepada orang lain. "Sehingga kasusnya saat ini lebih banyak (dari yang terdata). Dalam penilaian level oleh Organisasi Kesehatan Dunia sebenarnya apa yang ditemukan pemerintah jauh lebih kecil dari yang ada di masyarakat," kata Dicky.
Hasil penelitian Dicky beserta timnya menunjukkan angka kasus Covid-19 sepuluh kali lebih banyak dari temuan pemerintah pada gelombang kedua penularan Covid-19, semasa angka kasus meningkat akibat penularan virus corona varian Delta pada Juli sampai Agustus 2021. Dicky memperkirakan jumlah kasus pada gelombang ketiga penularan Covid-19, saat angka kasus meningkat akibat penularan virus corona varian Omicron, juga lebih banyak dari yang terdata.
"Itu harus jadi pengingat dalam kita mencermati perkembangan data," katanya.
Dia menyampaikan bahwa angka kasus infeksi dan kematian akibat Covid-19 merupakan masukan penting dalam pembuatan kebijakan mengenai pengendalian dan penanggulangan penyakit tersebut.
Kasus penambahan Covid-19 harian pada Senin (21/2/2022) tercatat sebanyak 34.418 kasus dengan 176 kasus meninggal. Puncak tertinggi penambahan kasus di Tanah Air sepanjang pandemi adalah ketika menyentuh 64 ribu kasus sepekan lalu. Setelahnya kasus harian Covid-19 menurun fluktuatif.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan kasus Covid-19 di DKI Jakarta dan empat provinsi mulai mengalami penurunan dan salah satunya, DKI Jakarta. Diketahui ada 13 provinsi yang mengalami peningkatan kasus dibandingkan saat Delta dulu.
"13 Provinsi yaitu Banten, DKI Jakarta, Jabar, Jateng, Jatim, Bali, Papua, Sulut, Lampung, Sulsel, Sumut, NTB dan Sumsel itu semua sudah lebih tinggi dari puncak Delta," kata Budi.
"Lima di antaranya sudah mengikuti tren menurun yaitu DKI Jakarta, Bali, Banten, Maluku dan NTT," sambung Budi.
Budi mengatakan kasus Covid-19 saat ini lebih tinggi dibandingkan puncak varian Delta yang pernah berada di angka sekitar 56 ribu. Namun, masyarakat diminta tak perlu khawatir dengan kondisi saat ini.
Dengan kondisi ini, Budi menyebut penyebaran Covid-19 kini sudah bergeser ke luar Pulau Jawa-Bali. Berdasarkan data yang dimilikinya, proporsi kasus Covid-19 di luar persentasenya terus bertambah.
"Karena proporsinya Jawa-Bali sudah menurun sehingga di luar Jawa-Bali naik. Yang tadinya perbandingannya 97 persen Jawa-Bali, 3 persen luar Jawa Bali sudah jadi 72-28 persen," ujarnya. "Sehingga akan terjadi pergeseran ke sana (luar Pulau Jawa-Bali)," lanjutnya.
enteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyampaikan, Provinsi DKI Jakarta, Banten, dan Bali kini terpantau telah mengalami tren penurunan kasus konfirmasi harian selama 7 hari terakhir. Selain itu, kata Luhut, tren angka hospitalisasi juga terlihat menurun di DKI Jakarta dan Bali.
Ia melanjutkan, hingga hari ini jumlah keterisian rawat inap di rumah sakit seluruh provinsi Jawa Bali masih jauh di bawah keterisian saat varian Delta. Karena itu, Luhut menegaskan, perkembangan kasus Omicron di Indonesia saat ini masih terkendali. Meskipun demikian, ia mengakui masih terjadi penambahan kasus yang jumlahnya sudah melebihi tren kenaikan saat periode Delta.
“Meskipun penambahan kasus sudah melebihi tren Delta, namun kondisi rawat inap dan kematian jauh lebih rendah dibandingkan varian Delta beberapa waktu lalu,” jelas dia.
Berdasarkan data yang dihimpun, dari 2.484 pasien yang meninggal, Luhut menyebut sebanyak 73 persen di antaranya belum melakukan vaksinasi dosis lengkap, 53 persen lansia, dan 46 persen memiliki penyakit komorbid. Pasien komorbid tersebut rata-rata meninggal lima hari sejak masuk rumah sakit, dengan komorbid terbanyak yakni penyakit diabetes mellitus.
“Saya ingatkan kepada teman-teman, saudara-saudara kita yang punya komorbid dan khususnya diabetes mellitus, bila sampai kena segera menuju rumah sakit. Jangan tunggu sampai berlanjut,” ujar Luhut.
Dalam rapat terbatas ini, Presiden Joko Widodo pun meminta agar risiko kematian terhadap lansia yang belum divaksin dan yang memiliki komorbid dapat ditekan maksimal dan mendapatkan penanganan yang baik.