Kelompok Dokter Kontroversial Gunakan Ivermectin untuk Long Covid

Ivermectin dijadikan terapi lini pertama long Covid oleh dokter-dokter kontroversial.

EPA-EFE/ROLEX DELA PENA
Obat Ivermectin untuk manusia. Kelompok dokter kontroversial memakai ivermectin sebagai obat lini pertama program i-recover bagi penderita long Covid.
Rep: Adysha Citra Ramadani Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- The Front Line Covid-19 Critical Care Alliance (FLCCC) membuat daftar obat, vitamin, dan terapi untuk long Covid yang memicu kontroversi. Kontroversi tersebut mencuat karena obat anti parasit ivermectin ada di dalam daftar tersebut.

Protokol yang diberi nama i-recover ini memuat rekomendasi terapi lini pertama, kedua, ketiga, serta terapi adjuvant yang merupakan pilihan opsional. Ivermectin yang telah dilarang penggunaannya untuk pengobatan Covid-19 justru masuk ke dalam daftar pengobatan lini pertama i-recover.

Baca Juga


Selain ivermectin, obat lain yang masuk ke dalam daftar pengobatan lini pertama adalah steroid prednisone, opioid antagonist naltrexone, asam lemak omega-3, dan vitamin D. Pada lini kedua, ada obat antidepresan fluvoxamine dan obat statin atorvastatin. Sedangkan dalam lini ketiga, ada obat HIV maraviroc.

Sebuah tes bernama InCellDx juga direkomendasikan sebagai strategi ini ketiga. Padahal, data mengenai tes tersebut masih sangat terbatas.

Untuk terapi adjuvant ataU opsional, FLCCC merekomendasikan senyawa seperti curcumin, nigella sativa, vitamin C, melatonin, dan quercetin. FLCCC turut merekomendasikan receptor blockers H1 dan H2, obat asma montelukast, dan obat antiandrogen, seperti spironolactone dan dutasteride untuk terapi opsional.

FLCCC mengungkapkan bahwa protokol tersebut mereka buat untuk membantu banyak pasien yang mengalami gejala Covid-19 berkepanjangan atau long Covid. Akan tetapi, para dokter lain memperingatkan potensi bahaya dari protokol yang disusun tanpa dukungan bukti ilmiah oleh FLCCC ini.

"Belum lama ini saya melihat 'protokol' long Covid FLCCC, dan astaga, itu merupakan rekomendasi obat gila yang tak berdasarkan bukti ilmiah, obat HIV, steroid, diuretik, dan tentu saja ivermectin," ujar dokter unit pelayanan intensif Dr Nick Mark melalui Twitter pribadinya, seperti dilansir ABC, Selasa (22/2/2022).

Dr Mark memberikan kritik karena FLCCC merekomendasikan 20 obat di mana sembilan di antaranya merupakan obat yang membutuhkan resep dokter untuk maslaah kesehatan tanpa bukti ilmiah yang mendukung. Hal itu, menurut dr Mark, merupakan tindakan yang tidak bertanggung jawab dan tidak sejalan dengan etika kedokteran.

"Ini tidak beretika dan juga berpotensi membahayakan," ungkap dr Mark.

Rekomendasi obat dan terapi FLCCC bisa membahayakan karena sebagianbobat justru bisa memperburuk gejala long Covid. Dr Mark mencontohkan, beberapa gejala umum long Covid adalah lemah otot, kelelahan, sesak napas, kecemasan, depresi, dan gangguan stres pascatrauma atau PTSD.

Infografis Fakta Seputar Ivermectin - (republika.co.id)

Penderita long Covid dengan gejala lemah otot yang mengonsumsi steroid dosis tinggi sesuai rekomendasi FLCCC bisa mengalami gejala lemah otot yang semakin berat. Bila mereka memiliki kondisi prediabetes, steroid bisa membuat kondisi tersebut semakin buruk.

Tak hanya itu, penggunaan steroid dosis tinggi bisa membuat pasien kesulitan tidur. Obat tersebut bahkan bisa ikut berkontribusi pada depresi.

Dokter spesialis penyakit menular, dr Thomas Walsh, turut menyoroti ivermectin yang direkomendasikan sebagai lini pertama pengobatan. Dokter yang bekerja di Allegheny Health Network tersebut mengatakan bukti yang mendukung ivermectin sebagai terapi Covid-19 masih sangat sedikit.

Belum lama ini, ivermectin digadang sebagai obat ajaib untuk mengobati Covid-19 oleh sebagian masyarakat. Peningkatan penggunaan ivermectin ini lalu diikuti dengan meningkatnya kasus keracunan yang membahayakan karena orang-orang mengonsumsi ivermectin tanpa resep dokter dan dalam dosis yang sebenarnya diperuntukkan bagi hewan besar.

Menurut dr Walsh, rekomendasi terapi yang diberikan FLCCC tidak didasarkan pada bukti ilmiah. Dr Walsh bahkan menyamakan protokol tersebut seperti melempar spaghetti ke tembok.

"Anda harus menghubungi dokter Anda, yang bisa membantu memandu Anda untuk mengatasi gejala-gejala ini," ungkap dr Walsh.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler