Hukum Meyakini Isra Miraj
Isra Miraj wajib diyakini oleh semua Muslim.
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Peristiwa Isra Miraj merupakan perjalanan agung Nabi Muhammad SAW menuju langit ketujuh untuk menerima perintah sholat dari Allah SWT. Secara jasadiyah, Nabi diperjalankan oleh Allah dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, lalu naik ke langit, tingkat demi tingkat, melalui medan antariksa alam semesta yang tak berhingga, sampai akhirnya tiba di Sidratul Muntaha.
Lalu, wajibkah seorang muslim mengimani peristiwa ajaib ini?
Founder Nutrisi Qolbu, Habib Muhammad Anis bin Umar Assegaf menjelaskan, peristiwa Isra Miraj ini telah terekam di dalam Alqur’an, sehingga umat Islam wajib mengimaninya.
“Wajib kita imani apa yang ada dalam Isra dan Miraj, karena Isra dan Miiraj adalah sebuah perjalanan yang dicantumkan dalam Alquran, coba buka surat Al Isra ayat satu,” ujar Habib Anis saat dihubungi Republika.co.id belum lama ini.
Dalam mresepons peristiwa Isra dan Miraj ini, kondisi masyarakat pada zaman nabi pun sempat terbelah, ada yang percaya dan ada yang tidak percaya. Selain itu, banyak pula umat yang semula beriman lalu menjadi ragu.
Di laman halalmui, Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat, Hj Faizah Ali Sibromalisi menceritakan bahwa kaum musyrikin Makkah pada saat itu ‘menertawakan’ Rasulullah SAW setelah beliau menceritakan peristiwa Isra Mi’raj-nya.
Lalu, mereka mendatangi Abu Bakar untuk mendengarkan langsung reaksi sahabat terdekat Nabi. Kaum musyrikin itu berharap sikap Abu Bakar akan sama dengan mereka, mengingat peristiwa tersebut sangat sulit diterima akal.
Namun, harapan mereka sirna. Setelah mereka sampaikan kabar dari Rasulullah SAW tentang peristiwa Isra Mi’raj, Abu Bakar bertanya, “Benarkah beliau menyatakan hal tesebut?” Mereka jawab, “Benar.”
Maka, Abu Bakar pun berkata, “Jika beliau yang mengatakan demikian, maka itu benar.” Mereka masih penasaran, lalu mendesak Abu Bakar dengan pertanyaan, “Apakah engkau akan membenarkan sahabatmu yang mengatakan bahwa dia diperjalankan di malam hari ke Baitul Maqdis lalu kembali sebelum subuh?”
Maka, terucaplah dari mulut Abu Bakar Ash-Shiddiq sebuah ungkapan keimanan sangat agung, “Jika dia berkata demikian, sungguh aku akan membenarkan apa yang dia sampaikan, bahkan walaupun lebih dari itu. Aku membenarkan berita langit baik di pagi atau sore hari.” (HR Hakim, dinyatakan shahih dan disetujui oleh Imam Az-Zahabi).
Karena sikapnya itu, Abu Bakar pun diberi gelar “Ash-Shiddiq” (yang sangat membenarkan).
“Ya, keunggulan Abu Bakar Ash-Shidiq ada pada keyakinan, kecintaan, ketulusan, kepatuhan dan kesungguhan dalam menerima ajaran Allah. Sesuatu yang umumnya tidak mudah dinilai secara kasat mata, tapi butuh ‘ainul bashirah (mata hati) untuk melihatnya,” jelas Hj Faizah Ali, yang merupakan lulusan Universitas Al Azhar Kairo Mesir.