Dikepung Berhari-Hari dan Gagal Evakuasi, Warga Mariupol Jadi Sandera Rusia?
Mariupol yang menghadap ke Laut Azov dikepung pasukan Rusia selama berhari-hari.
REPUBLIKA.CO.ID, MARIUPOL -- Terlihat barisan jenazah di jalan-jalan Kota Mariupol. Warga yang lapar menerobos masuk toko-toko mencari makanan. Sebagian mencairkan salju untuk mendapat air untuk diminum.
Ribuan orang berdesak-desakan di ruang bawah tanah, gemetar oleh suara tembakan rudal Rusia yang terus menghantam kota pelabuhan itu. "Mengapa saya tidak boleh menangis?" tanya Goma Janna sambil mengusap air mata di wajahnya yang diterangi lampu minyak.
Bersembunyi di tempat berlindung bawah tanah ia dikelilingi perempuan dan anak-anak. "Saya ingin rumah saya, saya ingin bekerja, saya sangat sedih pada apa yang menimpa orang-orang dan kota, pada anak-anak," katanya.
Krisis kemanusiaan di kota yang dihuni 430 ribu orang itu belum juga berakhir. Tidak ada bantuan yang masuk. Upaya mengevakuasi warga dan pengiriman bantuan yang sangat dibutuhkan seperti air dan obat-obat melalui koridor aman gagal.
Pemerintah Ukraina mengatakan pasukan Rusia menembak konvoi bantuan sebelum sampai ke kota. Hampir dua pekan Rusia melancarkan invasi ke Ukraina. Mereka terus bergerak maju di sepanjang pantai Ukraina untuk mendirikan jembatan ke Crimea yang Rusia aneksasi 2014 lalu.
Mariupol yang menghadap ke Laut Azov dikepung pasukan Rusia selama berhari-hari. Deputi Perdana Menteri Ukraina Iryna Vereshchuk mengatakan situasi di Mariupol "katastrofe."
Upaya untuk membuka koridor kemanusiaan agar masyarakat sipil melakukan evakuasi dengan aman tersandung pertempuran dan penolakan rute yang ditujukan. Ukraina menolak tawaran Moskow untuk membuka koridor yang membawa rakyat Ukraina menuju Rusia atau sekutunya Belarusia.
Sementara militer Rusia membantah menembaki konvoi dan menuduh balik pihak Ukraina yang menghalangi upaya evakuasi. Satu evakuasi berjalan berhasil pada Selasa kemarin. Vereshchuk mengatakan 5.000 warga sipil termasuk 1.700 mahasiswa asing berhasil dibawa keluar melalui koridor aman dari Sumy, kota seperempat juta jiwa di sebelah timur laut.
Di rapat darurat Dewan Keamanan PBB, diplomat Ukraina di PBB Natalia Mudrenko mengatakan pengepungan Mariupol "pada dasarnya menjadi masyarakat sebagai sandera". Suaranya penuh dengan emosi ketika ia menceritakan tentang seorang anak berusia enam tahun yang meninggal dunia tidak lama ibunya terbunuh rudal Rusia. "Ia sendirian di saat-saat terakhir hidupnya," kata Mudrenko.
Pihak berwenang Mariupol berencana menggali pemakaman massal untuk semua korban tewas. Walaupun angkanya belum diketahui pasti. Rudal menghancurkan gedung-gedung, kota itu juga tidak memiliki air, pemanas, jaringan telepon dan sistem pembuangan yang berfungsi.
Pencurian makanan, pakaian dan furnitur meluas di kota itu, warga setempat menyebutnya "mendapatkan diskon." Beberapa warga terpaksa mengambil air dari sungai.
Tanpa listrik sebagian besar masyarakat mengandalkan radio mobil untuk mendapatkan informasi terbaru. Beberapa stasiun radio dikuasai pasukan Rusia atau separatis yang mendukung Rusia.
Ludmila Amelkina yang berjalan-jalan di tengah puing-puing dan dinding penuh lubang tembakan mengatakan kehancuran kota itu begitu mengerikan. "Kami tidak memiliki listrik, tidak memiliki apa-apa untuk dimakan, tidak memiliki obat, kami tidak memiliki apa-apa," katanya sambil melihat ke langit.