Juwayriyah Binti Al Harits, dari Tawanan Perang Menjadi Istri Rasulullah SAW
Juwayriyah menghabiskan sebagian besar waktunya dalam ibadah dan berdzikir.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sangat penting untuk mempelajari kehidupan para istri Nabi Muhammad SAW yang terhormat untuk memahami mereka juga adalah manusia yang hidup, makan, tertawa, dan berjuang di jalan Allah SWT. Mempelajari cara hidup istri Nabi SAW akan memberi wawasan penting untuk menjadi muslim yang baik.
Salah seorang istri Nabi SAW yang juga patut diteladani kehidupannya adalah Juwayriyah binti al-Harits RA. Dia dikenal sebagai seorang yang blak-blakan dan sangat setia. Ia berdiri untuk keadilan dan mengabdikan diri untuk menyembah Allah SWT.
Dilansir dari About Islam, Sayyidah Juwayriyah sebenarnya lahir dengan status tinggi di sukunya. Ia adalah putri kepala suku Bani al-Mustaliq yang dikenal cantik, anggun, dan kuat. Sayyidah Aisyah menggambarkan Juwayriyah, dengan mengatakan, “Dia adalah wanita yang menyenangkan. Tidak ada yang melihatnya kecuali akan terpikat olehnya."
Pertemuannya dengan Nabi SAW adalah ketika kaum Muslimin mengetahui bahwa Banu al-Mustaliq, suku Juwayriyah, sedang merencanakan serangan terhadap kaum Muslim, perang pun pecah. Kaum Muslimin mengalahkan Banu al-Mustaliq yang membuat hidupnya berubah drastis dari cara pandang dan dalam menjalani hidupnya.
Setelah perang, Juwayriyah RA ditawan dan diberikan sebagai budak kepada Tsabit ibn Qays. Ini adalah nasib yang tidak dapat diterima baginya. Tapi dia tidak segan-segan menghadapi tantangan di hadapannya. Dia mendekati Thaabit ibn Qays untuk merundingkan pembebasannya.
Dia menyetujui jumlah untuk kebebasannya, tetapi tidak tahu bagaimana dia, yang dulunya putri seorang kepala suku sekarang menjadi budak yang tidak punya uang dapat memperoleh kekayaan seperti itu. Tetap saja dia tidak menyerah di bawah beban nasib yang dirasakannya. Dia mengajukan permohonan dan bersikeras melihat Nabi Muhammad SAW, satu-satunya pria yang dia kenal yang bisa membantunya.
Sayyidah Aisyah menceritakan, ketika Rasulullah SAW sedang duduk, tiba-tiba Juwariyah masuk menanyakan kepadanya tentang perjanjian tebusan (dengan Thaabit). Dia kemudian mulai berbicara kepada Nabi, "Ya Rasulullah! Saya Juwayriyah, putri al-Haarith – pemimpin kaumnya. Anda tidak menyadari apa yang telah terjadi pada saya. Saya termasuk dalam bagian Tsabit ibn Qays dan setuju dengannya untuk menebus diri saya dengan sembilan Ooqiyah. Jadi bantu saya untuk membebaskan diri saya sendiri."
Peristiwa ketika dia menuntut untuk berbicara dengan Nabi SAW ini yang menyebabkan dia masuk Islam dan mengantarkan ke pernikahannya dengan Nabi.
Sifat setia dan membela rakyat
Desakan Juwayriyah RA untuk memperbaiki keadaannya ketika dia menemukan dirinya dan orang-orangnya menjadi tawanan perang bukan hanya untuk dirinya sendiri. Dia tahu bahwa dia, seorang anggota berpengaruh dari sukunya, memiliki kewajiban kepada rakyatnya karena posisinya memiliki bobot.
Sementara tidak ada orang lain dari sukunya yang melangkah untuk menyelamatkan mereka dari penangkaran. Jadi, dia mengambil tanggung jawab itu di atas pundaknya sendiri.
Aisyah berkata: “Ketika berita pernikahan ini sampai kepada orang-orang, mereka mulai berkata, 'Apakah mertua Nabi akan dijadikan tawanan?!' Kemudian orang-orang membebaskan semua tawanan yang bersama mereka dari suku Banu al- Mustaliq, dan jumlah yang dibebaskan mencapai seratus rumah tangga karena pernikahan Nabi dengan Juwayriyah."
Kesetiaan Juwayriyah kepada umatnya dan rasa tanggung jawabnya kepada mereka mendorongnya untuk berbicara dengan Nabi (SAW). Menerima dia sebagai suaminya adalah manuver politik untuk memperbaiki keadaan rakyatnya. Tapi cintanya kepada agama Islam kemudian menjadi hadiah besar untuk keberaniannya.
Pejuang kesetaraan
Dalam biografinya dikisahkan, setelah wafatnya Nabi SAW, baik Abu Bakar Siddiq RA dan Umar bin Khattab RA memberikan 12 ribu dirham kepada para istri Nabi. Namun dilaporkan juga Umar ingin memberikan Juwairiyah RA dan Safiyah RA masing-masing hanya 6.000 dirham saja. Juwayriyah menolak mengambil dan menyatakan Umar tidak menganggap mereka setara dengan “Ummul-Mukminin” lainnya. Akhirnya Umar memberi mereka juga 12 ribu dirham.
Ketaatan kepada Allah SWT dan Nabi
Beberapa orang mungkin memandang Juwayriyah dengan kecurigaan sebagai orang yang memiliki ambisi politik. Tapi kehidupan Juwayriyah sendiri dipenuhi dengan bukti pengabdiannya kepada Allah SWT dan Rasul-Nya SAW. Juwayriyah menghabiskan sebagian besar waktunya dalam ibadah dan berdzikir.
Diriwayatkan bahwa, “Suatu pagi Rasulullah SAW meninggalkan kamarnya ketika dia sedang melakukan sholat subuh. Dia kembali pagi itu dan dia masih duduk di tempat yang sama. “Apakah kamu sudah duduk di tempat yang sama sejak aku meninggalkanmu?” tanya Nabi. 'Ya', jawabnya.”
Juwayriyah RA adalah seorang wanita kuat yang tahu harga dirinya. Dia mengutarakan pikirannya, membela rakyatnya, dan menolak diperlakukan dengan tidak adil. Tapi di atas semua itu, dia sangat berkomitmen dalam ibadahnya kepada Allah SWT. Juwayriyah adalah teladan kekuatan dan pengabdian yang bisa kita semua contoh.