Sri Mulyani Ungkap Konflik Rusia-Ukraina Ganggu Pemulihan Ekonomi

Kenaikan harga komoditas yang cukup ekstrem memaksa pengetatan kebijakan moneter.

Antara/Hafidz Mubarak A
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan kenaikan harga yang cukup ekstrem memaksa pengetatan kebijakan moneter di berbagai belahan dunia, sehingga menciptakan volatilitas di pasar keuangan.
Rep: Novita Intan Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Pemerintah menyebut konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina berpotensi mengganggu momentum pemulihan ekonomi setiap negara. Hal ini terlihat dari harga sejumlah komoditas melonjak.

Baca Juga


Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan kenaikan harga yang cukup ekstrem memaksa pengetatan kebijakan moneter di berbagai belahan dunia, sehingga menciptakan volatilitas di pasar keuangan.

“Ini semua akan menjadi ancaman yang sangat nyata bagi proses pemulihan ekonomi baik negara maju maupun negara berkembang, baik harga komoditas atau bukan, yang sekarang kita saksikan sangat meningkat. Peningkatan yang ekstrem pada beberapa komoditas," ujarnya saat webinar Indonesia Conference 2022: Fitch on Indonesia - Exit Strategy after the Pandemic, Rabu (16/3/2022).

Apalagi, Rusia telah mendapatkan beberapa sanksi dari sejumlah negara. Akibatnya bisa mengganggu volatilitas di pasar modal dan pasar keuangan pada umumnya.

Menurutnya kondisi ini pun mengakibatkan pasar negara berkembang akan memperketat kebijakan moneternya. Adapun langkah ini terpaksa diambil untuk mengantisipasi lonjakan inflasi.

"Jadi ini akan menjadi tantangan baru bagi semua negara yang menavigasi proses pemulihan," ucapnya.

Sri Mulyani menyebut pasar keuangan Rusia mengalami krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya. "Pasar keuangan Rusia mengalami krisis yang ditandai dengan jatuhnya pasar saham dan depresiasi rubel ke titik terendah sepanjang masa," ucapnya.

Akibatnya bank sentral setempat menaikkan suku bunga acuan dari 9,5 persen menjadi 20 persen. Langkah ini diambil dalam rangka mengantisipasi risiko melonjaknya inflasi.

"Bank sentral menaikkan suku bunga dari 9,5 persen menjadi 20 persen sebagai respons terhadap depresiasi yang tajam dan mengantisipasi risiko lonjakan inflasi," tutur Sri Mulyani.

“Sehingga menyebabkan meningkatnya volatilitas di pasar keuangan dan turunnya harga saham global. Hal ini didorong tren kenaikan inflasi, potensi pengetatan kebijakan moneter, dan eskalasi ketegangan geopolitik,” ucapnya.

Meski begitu, menurutnya, konflik yang terjadi di Barat tersebut tidak mengganggu pasar keuangan di Tanah Air. Hal ini tercermin dari PMI Manufaktur Indonesia yang masih berada level ekspansi dan tingkat kepercayaan konsumen yang pulih di tengah penyebaran omicron.

"Saya pikir kondisi kita saat ini masih resilien tetapi konflik ini dapat menimbulkan dampak jangka panjang yang rasanya akan lebih kompleks lagi," kata dia.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler