Orang Kristen, Yahudi, dan Muslim Hadapi Diskriminasi Berbeda di Tempat Kerja
Banyak wanita Yahudi dan Muslim menyembunyikan identitas agama.
REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Program Agama dan Kehidupan Publik Rice University melaporkan umat Kristen, Yahudi, dan Muslim mengalami diskriminasi yang sama di tempat-tempat kerja. Tetapi mereka mengalami diskriminsi secara berbeda.
“Muslim dan Yahudi mengatakan merasa menjadi sasaran retorika anti-Islam dan antisemit, hal itu paling sering dilihat sebagai bagian dari kelompok yang lebih besar,” kata mereka dalam penelitian tersebut.
Sementara orang Kristen evangelis mengatakan, mereka lebih sering merasa dikucilkan ketika mengambil sikap individu berdasarkan pandangan moral mereka. Salah satu penulis laporan, Rachel Schneider, mengatakan mereka mengetahui orang sering mengalami diskriminasi di tempat kerja dalam bentuk agresi mikro seperti stereotip dan lainnya, tidak hanya dalam proses perekrutan, pemecatan, dan promosi.
“Praktik dan perilaku sehari-hari di tempat kerja inilah yang benar-benar mengejutkan untuk dipelajari lebih banyak tentang bagaimana diskriminasi begitu nyata,” kata Peneliti pascadoktoral di Program Kehidupan Publik dan Agama Schneider dilansir dari Religion News Service, Kamis (17/3/2022).
Penelitian “Bagaimana Diskriminasi Keagamaan Dirasakan di Tempat Kerja: Memperluas Pandangan,” mengambil penelitiannya dari “Faith at Work: An Empiris Study” dari Rice University, yang mencakup survei terhadap lebih dari 11 ribu orang. Selain itu, peneliti melakukan wawancara mendalam dengan hampir 200 orang yang disurvei, termasuk 159 orang Kristen, 13 orang Yahudi, 10 Muslim, dan 12 orang nonreligius. Penelitian ini didanai oleh Lilly Endowment.
Sebagian besar peserta Muslim (63 persen) dan Yahudi (52 persen) melaporkan diskriminasi agama dibandingkan dengan kelompok agama lain. Sedangkan dalam subkelompok Kristen, mereka mendapatkan diskriminasi yang berbeda.
Protestan evangelis yang paling banyak melaporkan mengalami diskriminasi agama (36 persen), Katolik sekitar 20 persen dan Protestan (24 persen). Di antara peserta nonreligius, 27 persen merasakan diskriminasi agama di tempat kerja.
Melalui wawancara mendalam, peserta Yahudi dan Muslim menggambarkan agresi mikro verbal yang terkait dengan stereotip antisemit dan anti-Islam. Orang Yahudi kulit putih yang bekerja di layanan sosial di Indiana, mengatakan, rekan kerjanya kerap menggunakan kiasan bahwa dia "pandai dalam pembukuan dan mencatat uang."
Sedangkan pria Yahudi kulit putih yang bekerja di bidang teknologi informasi di Florida, mengatakan rekannya mengatakan “Yah, orang Yahudi menjalankan semua bank.”
Demikian pula, seorang Muslim Asia yang tinggal di New York menyebutkan rekan-rekannya mengekspresikan pandangan bahwa Muslim adalah ekstremis. Muslim lainnya di Louisiana, mengatakan dia dilecehkan ketika dia masuk Islam. Rekan-rekannya sering mengolok-olok setelah ia masuk Islam dan menggunakan jilbab, padahal sebelumnya hal itu tidak pernah terjadi.
"Saya mencoba melihat sudut pandang Anda, tetapi sudut pandang Anda bodoh,” sebuah tulisan dibentangkan di kantor tempatnya bekerja.
Selain menjadi bahan olokan dan diskriminasi, mereka juga tidak mendapatkan fasilitas penunjang ruang ibadah. Karena diskriminasi tersebut, ujar Schneider, maka tidak heran bila kemudian banyak Muslim dan Yahudi, memilih menyembunyikan identitas agama mereka di tempat kerja agar bisa bekerja dengan nyaman.
“Banyak wanita Yahudi dan Muslim menyembunyikan identitas agama mereka di tempat kerja untuk mencegah diskriminasi,” kata Schneider.
Dalam contoh lain, orang kristen evangelis Latin di Tennessee mengatakan rekan kerja akan mengolok-olok dengan sebutan haleluya (orang yang suci). Namun demikian apa yang dialami orang kristen ini menurut Peneliti tidak sampai pada membawa risiko yang sama untuk kekerasan seperti halnya yang dialami minoritas agama lain, seperti muslim.
Sedangkan untuk nonreligius, responden merasa terdorong mengecilkan atau menyembunyikan identitas mereka juga. Seorang pria Latin nonreligius yang bekerja sebagai penjaga keamanan di Kalifornia mengatakan kepada para peneliti dia akan berbicara dengan lembut ketika mengungkapkan pandangannya karena takut ditegur, didisiplinkan, atau dipecat jika ada sesuatu yang keluar dari konteksnya.
Seorang insinyur kulit hitam agnostik di Arizona mengatakan dia ragu-ragu mengungkapkan agnostisismenya karena dia sudah menjadi 'tiga minoritas' di tempat kerja sebagai karyawan termuda dan seorang wanita kulit hitam. Schneider mengatakan pemberi kerja harusnya menyadari diskriminasi agama yang mungkin terjadi di tempat kerja dapat menyebabkan pekerja merasa terpinggirkan dan distigmatisasi. Selanjutnya dapat memengaruhi kemampuan mereka untuk mempertahankan karyawan.
Schneider mengatakan pengusaha harus menawarkan pelatihan tentang diskriminasi agama. “Kita semua tahu karyawan sering, akhir-akhir ini, diberikan pelatihan keragaman, tetapi dalam aspek lain dari penelitian kami, kami bertanya seberapa sering agama muncul dalam pelatihan semacam itu dan itu hampir tidak pernah,” katanya.