Gugat UU Pemilu, Kedudukan Hukum Partai Gelora Dipertanyakan MK 

'Apakah Partai Gelora ini sudah menjadi partai peserta pemilihan umum untuk 2024?'

ANTARA/Indrianto Eko Suwarso
Ilustrasi. Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mempertanyakan kedudukan hukum Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora) selaku pemohon pada uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Rep: Mimi Kartika  Red: Ratna Puspita

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang dimohonkan Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora), Kamis (24/3/2022). Dalam nasihatnya, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mempertanyakan kedudukan hukum pemohon. 

Baca Juga


"Apakah Partai Gelora ini sudah menjadi partai peserta pemilihan umum untuk 2024? Ini perlu Saudara pertegas ya," ujar Enny dalam sidang yang disiarkan akun Youtube MK. 

Pasal 6A ayat 2 UUD 1945 menyatakan, pasangan calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) diusulkan oleh partai politik (parpol) atau gabungan parpol peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu. Dalam gugatannya, pemohon merasa hak Partai Gelora untuk mengusulkan capres dan cawapres secara sendiri maupun gabungan parpol, sebagaimana Pasal 6A ayat 2 UUD 1945, pada Pemilu 2024 akan hilang karena berlakunya Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 UU Pemilu mengenai keserentakan pemilu. 

Apalagi, terdapat Pasal 222 UU Pemilu yang mensyaratkan parpol atau gabungan parpol harus memenuhi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi di DPR RI atau 25 persen perolehan suara hasil pemilu sebelumnya untuk dapat mengusulkan capres dan cawapres. Pemohon juga mengkhawatirkan, Partai Gelora tidak memiliki nilai tawar untuk dapat bergabung dengan parpol lainnya untuk mengajukan capres dan cawapres. 

Untuk itu, Partai Gelora mengajukan uji materi UU Pemilu dan menginginkan pemilihan legislatif (pileg) dilaksanakan sebelum pemilihan presiden dan wakil presiden (presiden). Pemohon menilai, penyelenggaraan pileg dan pilpres tidak serentak pun tetap konstitusional. 

Atas dalil pemohon tersebut, Hakim Enny menyarankan pemohon membuktikan kerugian hak konstitusional yang telah disebutkan. "Termasuk kalau dia menjadi partai politik peserta pemilihan umum, berarti dia sudah selesai verifikasi administrasi maupun faktualnya, begitu, ya. Nanti silakan Saudara kalau ada bukti‑bukti, silakan dilampirkan," kata Enny. 

Selain itu, Enny juga mempertanyakan siapa sesungguhnya yang berhak untuk mewakili Partai Gelora di dalam dan di luar pengadilan. Dalam permohonannya, Partai Gelora mengajukan uji materi ke MK diwakili Ketua Umum Anis Matta, Wakil Ketua Umum Fahri Hamzah, dan Sekretaris Jenderal Mahfuz Sidiq, yang kemudian memberikan kuasa kepada para advokat, Guntur F Prisanto dkk. 

"Tetapi sesungguhnya kalau dilihat di dalam AD/ART, ini kan memang menyebutkan Pasal 94 itu adalah DPN (Dewan Pimpinan Nasional). Nah, siapa sesungguhnya DPN itu yang berhak mewakili itu? Apakah memang di situ adalah ketuanya, kemudian ada wakilnya seperti itu? Ini memang kalau kita kaitkan dengan AD/ART memang belum jelas, ya. Nanti tolong ini dijelaskan, diklirkan, siapa yang sesungguhnya berhak mewakili," tutur Enny. 

Baca juga: Satgas Covid-19 Terbitkan Aturan Baru PPLN, Kembali Wajib Tunjukkan Tes PCR

Berkaitan dengan syarat parpol menjadi peserta Pemilu 2024, terdapat dalam amar putusan MK Nomor 55/PUU-XVIII/2020 terhadap uji materi Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu. Putusan MK tersebut mengelompokkan parpol yang tetap diverifikasi administrasi saja atau harus diverifikasi administrasi maupun faktual. 

Parpol yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan lolos ambang batas parlemen pada Pemilu 2019 tetap diverifikasi secara administrasi, tetapi tidak diverifikasi faktual. Sedangkan, parpol yang tidak lolos ambang batas parlemen maupun parpol baru diharuskan diverifikasi kembali secara administrasi dan faktual. 

Sementara, Partai Gelora ialah partai baru, belum mengikuti pemilu sebelumnya. Tahapan verifikasi administrasi dan faktual pun baru akan dilaksanakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) mulai Agustus 2022 mendatang setelah pendaftaran parpol menjadi peserta Pemilu 2024. 

Anis Matta dan Fahri Hamzah tampak menghadiri sidang tersebut. Kuasa hukum pemohon, Amin Fahrudin, mengatakan, tidak ada satu pun pasal dalam konstitusi yang mengatur secara tegas, pemilihan umum untuk memilih anggota legislatif (pileg) serta presiden dan wakil presiden (pilpres) dilakukan secara serentak. Menurutnya, konstitusi hanya menyatakan pemilu diadakan setiap lima tahun sekali. Pemilu serentak pileg dan pilpres dalam satu waktu hanya tafsir Mahkamah. 

Baca juga: Liga 1 Belum Usai, Persib Bandung Dirumorkan Lepas Sejumlah Pemain

Kuasa hukum pemohon menuturkan, jika pun pileg dan pilpres dilakukan secara terpisah maka tetap konstitusional. Begitu pula efisiensi anggaran yang dijadikan sebagai alasan digelarnya pemilu serentak dinilai hanya sekadar asumsi dan pandangan yang tidak berdasar. 

Selain itu, ketentuan dalam UU Pemilu membuat Partai Gelora tidak bisa mengusulkan calon presiden dan wakil presiden sendiri. Partai Gelora tidak memiliki nilai tawar untuk dapat bergabung dengan partai lainnya untuk mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden.

"Meskipun pemohon pada saat tahapan pencalonan presiden dan wakil presiden kemungkinan besar telah dinyatakan sebagai peserta pemilihan umum tetapi tidak dapat mengusulkan calon presiden dan wakil presiden, serta pemohon tidak memiliki nilai tawar di dalam mengusulkan calon presiden-wakil presiden untuk bergabung dengan partai politik lainnya," katanya. 

Baca juga: Tinggalkan Chelsea, Roman Abramovich Dikabarkan akan Beli Klub Turki

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler