Organisasi Sipil Diharapkan Jadi Aktor Utama Kebijakan Perlindungan Lingkungan Hidup
OMS bisa memfasilitasi kelompok rentan dan marginal agar memperoleh bantuan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Organisasi masyarakat sipil (OMS) diharapkan menjadi aktor utama dalam memantau dampak kebijakan perlindungan lingkungan hidup, terutama terkait isu perubahan iklim.
"Hari ini kami mengundang organisasi masyarakat sipil karena kami sangat yakin bahwa masyarakat sipil memainkan peran penting di area yang juga penting, dalam hal ini lingkungan hidup dan pembangunan ekonomi," kata Deputy Resident Representative UNDP Indonesia, Nika Saeedi, dalam sambutan webinar nasional bertajuk "Inclusive environmental policies: Stockholm+50", Selasa (29/3/2022) lalu.
Webinar tersebut diselenggarakan secara virtual oleh Badan PBB untuk Pembangunan (UNDP), Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemenlu RI) dan Kedutaan Besar Swedia di Jakarta. Webinar ini sekaligus menjadi yang agenda kedua diselenggarakan dalam menyambut perhelatan Stockholm +50 yang akan berlangsung di Swedia pada 2-3 Juni 2022 mendatang. Ajang Stockholm +50 juga akan bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup Dunia.
Webinar dihadiri oleh Plt Dirjen Kerja Sama Multilateral Kemenlu RI Ibnu Wahyutomo, Deputy Resident Representative UNDP Nika Saeedi, dan Deputy Head of Mission Kedubes Swedia untuk Indonesia Gustav Dahlin.
Pernyataan Nika tersebut didukung oleh Deputy Head of Mission Kedubes Swedia untuk Indonesia Gustav Dahlin dalam pidatonya. Ia juga menekankan pentingnya peran masyarakat sipil dalam penanganan masalah-masalah lingkungan hidup di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. "Kita memerlukan kolaborasi nyata baik dari negara, para pelaku bisnis, akademisi, dan masyarakat sipil," katanya dalam siaran pers yang diperoleh Republika, Jumat (1/4/2022).
Sementara itu, Plt Dirjen Kerja Sama Multilateral Kemenlu RI Ibnu Wahyutomo dalam sambutannya turut mengapresiasi UNDP dan Pemerintah Swedia untuk penyelenggaraan acara webinar yang berlangsung kedua kalinya tersebut.
"Pemerintah, OMS, tenaga pendidik, swasta, kalangan industri, tentunya memiliki kepentingannya masing-masing, namun ada satu hal yang menyatukan kita semua, yaitu bumi yang menjadi tempat di mana kita berpijak sekarang. Untuk itu mari kita manfaatkan Stockholm +50 ini untuk menyatukan visi dan memperkuat kolaborasi," ujarnya.
Selain itu, terdapat tiga narasumber yang menjadi pembicara pada kegiatan webinar tersebut, di antaranya Co-Founder Biorock Indonesia, Tasya Karissa, Direktur Eksekutif Center of Revolutions Economy (Core) Indonesia, Mohammad Faisal, dan aktivis lingkungan sekaligus penyelam bawah laut dari Divers Clean Action Indonesia, Swietenia Puspa Lestari.
Di hadapan sekitar 150 peserta, Tasya Karissa menyinggung berbagai persoalan mengenai manfaat yang dapat dirasakan oleh kelompok masyarakat terpinggirkan atau rentan terkait inisiatif dan kebijakan pembangunan berkelanjutan untuk mencapai lingkungan hidup yang sehat demi terciptanya kemakmuran bersama. "Kita semua di sini memiliki benang merah yang sama, yaitu prosperity for all - no one left behind, tetapi apakah benar kita dapat mewujudkan hal tersebut?" ucapnya.
Ia pun mengatakan bahwa ada hal-hal yang dapat OMS dan masyarakat lakukan untuk berkontribusi mewujudkan hal tersebut. "Kita dapat memfasilitasi kelompok rentan dan marginal untuk memperoleh legalitas sehingga dapat memperoleh bantuan, mengajak masyarakat untuk membuat usaha lestari, ikut memonitor kebijakan pemerintah, dan lain sebagainya," katanya.
Sementara Mohammad Faisal mengulas terkait berbagai upaya yang dapat dilakukan bersama dari berbagai pihak, mulai dari masyarakat, organisasi, korporasi, hingga pemerintah, untuk mewujudkan pemulihan yang berkelanjutan dan inklusif pasca-pandemi Covid-19. "Kita harus merubah paradigma pembangunan ekonomi dari hanya yang semata-mata melihat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tapi kita juga harus melihat kualitasnya: bagaimana sustainability-nya bagaimana inclusiveness-nya," ucapnya.
Sementara itu, Swietenia Puspa Lestari berbicara mengenai pandangannya terkait upaya percepatan implementasi pembangunan berkelanjutan dalam konteks Decade of Actions. Swietenia juga memberikan perspektif sebagai anak muda dan bagaimana anak muda dapat berperan terhadap persoalan lingkungan dan pembangunan. "Indonesia secara spesifik telah melakukan banyak sekali memiliki kegiatan dengan tema lingkungan yang tentunya terinspirasi dari Stockholm 50 tahun yang lalu, namun masih banyak isu-isu bottleneck yang menghambat," katanya.