Enam Hal yang Harus Dikawal Setelah UU TPKS Disahkan
RUU TPKS ditargetkan diketok palu sebelum rapat paripurna 14 April.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Nawir Arsyad Akbar
Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual merekomendasikan enam hal yang perlu dikawal setelah Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) disahkan dalam sidang paripurna DPR RI. "Ada enam hal ke depan yang perlu kita kawal setelah disahkan-nya RUU TPKS," ujar anggota jaringan Anis Hidayah, Selasa (5/4/2022).
Pertama, Anis menyampaikan bahwa UU TPKS harus menjadi informasi dan pengetahuan publik melalui penyelenggaraan sosialisasi dari Pemerintah kepada masyarakat."Undang-Undang ini harus menjadi informasi dan pengetahuan publik melalui sosialisasi. Jadi, kelompok-kelompok yang rentan menjadi korban, seperti mereka yang berada di sekolah dan kampus penting untuk didatangi dan menerima sosialisasi terkait dengan UU TPKS," ujarnya.
Anis meyakini Pemerintah sebenarnya telah memiliki program untuk menyosialisasikan suatu undang-undang. Namun pada praktiknya, menurut dia, sosialisasi tersebut cenderung hanya menjadi formalitas.
Oleh karena itu, ia mengatakan jaringan aktivis seperti pihaknya perlu ikut berperan menyosialisasikan UU TPKS. "Kita juga harus mengisi itu dengan substansi yang memadai," imbau Anis.
Kedua, lanjutnya, pembuatan dan pengesahan aturan turunan yang dimandatkan UU TPKS juga perlu dikawal. Sejauh ini, menurut Anis, ada lima aturan turunan yang dimandatkan oleh UU TPKS. Di antaranya, empat peraturan pemerintah (PP) yang terdiri atas pembahasan seputar restitusi korban kekerasan seksual, unit pelayanan terpadu satu atap untuk korban, pencegahan tindak pidana kekerasan seksual, dan pendidikan serta pelatihan petugas di unit pelayanan terpadu.
"Lalu, ada pula aturan turunan terkait dengan pemantauan implementasi UU TPKS dalam bentuk peraturan presiden," kata Anis.
Ketiga, hal yang juga perlu dikawal setelah disahkannya UU TPKS adalah penguatan kapasitas, baik pendamping korban, aparat penegak hukum, maupun petugas unit pelayanan terpadu. "Apalagi Pasal 16 RUU TPKS mensyaratkan pendamping dan aparat penegak hukum harus punya perspektif korban, hak asasi manusia (HAM), serta disabilitas dalam penanganan kasus kekerasan seksual," ujarnya.
Hal keempat adalah jaringan aktivis berkepentingan menyusun instrumen pemantauan implementasi UU TPKS. Kelima, pengawalan terhadap pemantauan implementasi UU TPKS dan yang terakhir adalah membuat rapor implementasi UU TPKS pasca-tiga tahun diundangkan.
Aktivis perempuan Sri Nurherwati menilai draf RUU TPKS sudah memuat enam elemen kunci yang diharapkan mampu memperbaiki sistem hukum dalam penanganan kasus kekerasan seksual yang memihak kepada korban. "Saya kira bisa dipastikan bahwa RUU TPKS ini sudah mengandung enam elemen kunci yang diharapkan menjadikannya sebagai RUU tindak pidana khusus internal, sekaligus lex spesialis dari lex spesialis yang ada. Dengan demikian, memang ini yang kami harapkan nantinya bisa memberikan perubahan dalam hukum penanganan kasus kekerasan seksual di Indonesia," kata Sri Nurherwati, dalam konferensi pers virtual "Catatan Kritis Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual atas Sidang Pembahasan RUU TPKS", Selasa.
Mantan anggota Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tersebut menyebutkan keenam elemen kunci tersebut ialah pencegahan terhadap terjadinya tindak pidana kekerasan seksual, penindakan terhadap pelaku kekerasan seksual, dan pemulihan terhadap korban kekerasan seksual. Berikutnya, ada elemen peletakan kewajiban negara dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan, peran masyarakat dan tokoh daerah yang mampu mengedukasi segenap warga negara Indonesia terkait kekerasan seksual, serta pemantauan terhadap implementasi RUU TPKS.
Dia mengapresiasi seluruh pihak yang terlibat dalam percepatan pembahasan dan pengesahan RUU TPKS tersebut. "Kami harus memberikan apresiasi yang sangat kepada seluruh pihak yang terlibat, karena bagaimana pun terlihat semangat dan komitmen dalam upaya percepatan pembahasan dan pengesahan RUU TPKS ini, untuk mengupayakan substansinya berpihak pada korban. Selain itu, pembahasannya juga terbuka," ujarnya.
Badan Legislasi (Baleg) DPR urung menggelar rapat pleno untuk pengambilan keputusan tingkat I dari RUU TPKS. Hari ini, mereka masih melakukan harmonisasi terkait redaksional di tingkat tim perumus (timus) dan tim sinkronisasi (timsin).
"Keputusan tingkat I kan dan kita usahakan besok siang jam 1, di undangan sudah saya kirim ke Pak Lodewijk karena yang bertanda tangan itu Wakil Ketua (DPR) Bidang Korpolkam," ujar Wakil Ketua Baleg Willy Aditya di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (5/4/2022).
Tahap timus dan timsin dilakukan untuk memperbaiki hal-hal yang bersifat redaksional dalam RUU TPKS, seperti penggunaan diksi dan tanda baca. Karenanya, pihaknya tak memaksakan dilakukannya rapat pleno pengambilan keputusan tingkat I.
"Kita targetkan selesai hari ini, karena ada 90 poin yang diharmonisasi, yang disinkronisasi. Sejauh ini sudah selesai separuh, sudah sampai tadi 42 dari 91, sudah separuh dan memang kita targetkan hari ini," ujar Willy.
Baleg, kata Willy, sudah bersurat kepada pimpinan DPR agar RUU TPKS dapat disahkan dalam rapat paripurna terdekat. Pasalnya, masa sidang DPR akan menutup masa sidangnya pada 14 April mendatang.
"Kita targetkan rapurnya masuk ya sebelum penutupan 14, karena saya sudah bersurat ke pimpinan dan kita tunggu ini Bamus terdekat. Yang penting komunikasi sama pimpinan sudah ada untuk masuk ke rapur," ujar Ketua panitia kerja (Panja) RUU TPKS itu.
Diketahui, Panja RUU TPKS sudah menyepakati sejumlah hal dalam rapat yang dilakukan lebih dari sepekan kemarin. Salah satunya adalah menyepakati adanya kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE). Hal tersebut diatur dalam Pasal 7A RUU TPKS yang telah disepakati oleh pemerintah dan DPR.
Dalam Pasal 7A Ayat 1 dijelaskan tiga kategori yang dapat dipidana karena melakukan kekerasan seksual berbasis elektronik. Pertama, setiap orang yang tanpa hak melakukan perekaman dan/atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetujuan orang yang menjadi objek perekaman, gambar, atau tangkapan layar.
Kedua, orang yang tanpa hak mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual. Terakhir, melakukan penguntitan dan/atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang yang menjadi objek dalam informasi atau dokumen elektronik untuk tujuan seksual.
Ketiga kategori tersebut dapat dipidana karena melakukan kekerasan berbasis elektronik dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Serta denda paling banyak Rp 200 juta.
Pasal 7A Ayat 2; "Dalam hal perbuatan sebagaimana pada Ayat 1 dilakukan dengan maksud untuk melakukan pemerasan, pengancaman, memaksa, menyesatkan, atau memperdaya seseorang supaya melakukan, membiarkan dilakukan, atau tidak melakukan sesuatu, dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau paling banyak Rp 300 juta".
Willy Aditya mengatakan, DPR tak bisa menampung seluruh aspirasi terkait kekerasan seksual dalam RUU TPKS. Salah satunya adalah dicabutnya Pasal 27 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
"Gini, kalau permintaan semua teman-teman itu diakomodir, ya mabuk lah kita," ujar Willy.
Kendati demikian, panitia kerja (Panja) RUU TPKS justru memasukkan materi muatan terkait dana bantuan korban atau victim trust fund (VTF). Poin tersebut diketahui merupakan usulan dari sejumlah kelompok masyarakat.
"Bayangkan, victim trust fund tidak ada di (DIM) DPR-pemerintah, tahu-tahu bisa masuk. Kurang apa komitmen kita terhadap teman-teman itu," ujar Willy.
Selain tak mencabut Pasal 27 Ayat 1 UU ITE, aborsi tak dimasukkan ke dalam RUU TPKS. Hal itu dilakukan agar tak adanya tumpang tindih antara RUU TPKS dengan peraturan perundang-undangan yang lain.
Berdasarkan penjelasan pemerintah yang diwakili Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej, perkosaan tak masuk ke dalam RUU TPKS karena sudah diatur di revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Sementara itu, aborsi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam 75 Ayat 1 UU Kesehatan dijelaskan bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi.
Namun, terdapat pengecualian untuk dua hal yang diatur dalam Pasal 75 Ayat 2 UU Kesehatan. Pertama adalah indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan.
"Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan," tertulis dalam poin kedua ihwal pengecualian melakukan aborsi yang diatur dalam Pasal 75 Ayat 2.