China dan Iran Tingkatkan Kerja Sama Militer
Pada Januari, China, Iran dan Rusia mengadakan latihan angkatan laut bersama.
REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- China dan Iran telah sepakat untuk memperluas kerja sama militer. Kesepakatan ini dicapai dalam kunjungan Menteri Pertahanan China, Wei Fenghe ke Teheran pada Rabu (27/4/2022) dan mengadakan pembicaraan dengan para pejabat senior Iran, termasuk Presiden Ebrahim Raisi.
"Dalam pertemuan dengan menteri pertahanan China, kami sepakat untuk memperluas kerja sama bilateral dalam latihan militer bersama, pertukaran strategi, masalah pelatihan dan bidang umum lainnya antara angkatan bersenjata kedua negara sehingga kami dapat memberikan keamanan yang lebih baik untuk wilayah kedua negara," ujar Kepala Staf Angkatan Bersenjata Iran, Mohammad Bagheri, dilansir Middle East Monitor, Jumat (29/4/2022).
Sementara Wei mengatakan, tujuan dari kunjungan itu adalah ntuk meningkatkan kerja sama pertahanan strategis antara Beijing dan Teheran. Dia menambahkan, peningkatan hubungan kerja sama ini akan memberikan keamanan, terutama dalam situasi kritis dan tegang saat ini.
Selama kunjungannya, Wei bertemu dengan Menteri Pertahanan Iran, Mohammad Reza Ashtinai, yang mengkritik kehadiran militer Amerika Serikat (AS) di kawasan itu dan di tempat lain. "Di mana pun militer AS hadir, mereka telah menciptakan gelombang ketidakamanan, ketidakstabilan, keretakan, pesimisme, perang, kehancuran, dan pemindahan," katanya.
China dan Iran telah meningkatkan hubungan militer mereka dalam beberapa tahun terakhir, di tengah ketegangan dengan AS. Pada Januari, kedua negara bersama dengan Rusia mengadakan latihan angkatan laut bersama di Samudra Hindia. Ini merupakan latihan yang ketiga sejak 2019.
Sebelumnya Presiden Raisi mengatakan, dalam menghadapi unilateralisme dan menciptakan stabilitas serta ketertiban, perlu kerja sama kekuatan independen dan berpikiran sama.
Tahun lalu China dan Iran menandatangani perjanjian kerjasama 25 tahun yang bertujuan untuk memperkuat hubungan ekonomi dan politik. China juga merupakan salah satu penandatangan kesepakatan nuklir 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA).
Pada 2018, mantan Presiden Donald Trump menarik Amerika Serikat dari JCPOA secara sepihak dan menjatuhkan sanksi berat terhadap Iran. Sejak itu, Iran telah meningkatkan pengayaan uranium yang mendekati tingkat senjata nuklir.
Kesepakatan nuklir Iran menempatkan sentrifugal canggih ke dalam penyimpanan di bawah pengawasan Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Termasuk menjaga pengayaan uranium pada tingkat kemurnian 3,67 persen dan persediaannya hanya 300 kilogram (661 pon).
Pada 19 Februari, IAEA mengatakan persediaan Iran dari semua uranium yang diperkaya hampir 3.200 kilogram (7.055 pon). Beberapa telah diperkaya dengan tingkat kemurnuan hingga 60 persen. Sementara itu, Iran telah menghentikan IAEA untuk mengakses rekaman kamera pengintainya.
Pembicaraan antara Iran dan kekuatan dunia di Wina untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir 2015 telah terhenti. Ada kekhawatiran bahwa Iran bisa lebih dekat untuk membuat senjata atom.