Merasakan Ramadhan Setiap Hari

Orang yang lulus dalam Ramadhan, ia akan menjadikan seluruh hidupnya berpuasa.

AP Photo/Dita Alangkara
Orang-orang menyalakan suar saat mereka merayakan malam Idul Fitri, hari libur yang menandai berakhirnya bulan suci Ramadhan, di sebuah jalan di Jakarta, Ahad, 1 Mei 2022.
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Kholis Bakri
 
Lebaran tahun ini seolah-olah telah kembali pada jati dirinya. Kemeriahan lebaran yang ditandai dengan kemacetan, mudik dan ramainya tempat-tempat wisata menjadi tradisi yang melekat di masyarakat kita. Setelah dua tahun dihajar pandemi Covid-19, kita tak bisa bertemu dengan orang tua dan sanak saudara di kampung, maka saatnya kita tumpahkan dalam kerinduan yang membuncah. Silaturahim yang diajarkan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam menemukan momentulnya dalam perayaan Idul Fitri, yang sejatinya "orang-orang beriman itu bersaudara" tak dihalangi oleh sekat waktu dan tempat.

Tangisan kebahagiaan, sekaligus bercampur dengan tangisan kesedihan yang seharusnya kita rasakan. Bukan karena datangnya Lebaran, tapi pamitnya Ramadhan, yang entah kita bersua kembali di tahun depan.  Ramadhan ibarat kekasih yang selalu dirindukan kebersamaannya.

Waktu terasa begitu cepat berlalu, seolah-olah baru sesaat. Bukankah di bulan yang penuh berkah itu, ampunan Allah terbuka lebar bagi hamba-hamba-Nya, rahmat-Nya tercurah pada setiap jejak waktu yang dilaluinya, dan pahala dilipatgandakan, bukan lagi pada hitungan 10 kali hingga 700 kali tapi tak terbatas, karena Allah mengatakan dalam sebuah hadist qudsi "Semua amal ibadah seorang hamba itu miliknya, kecuali puasa. dan Aku sendiri yang membalasnya".    
 
Begitulah para salafush-sholeh bersikap terhadap Ramadhan. Ketika Ramadhan sudah meninggalkannya, yang tersisa hanya rasa rindu dan rasa takut. Rindu ingin kembali berjumpa dan takut tak mendapatkannya di tahun depan.


Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata : “Bagaimana mungkin air mata seorang mukmin tidak menetes tatkala berpisah dengan Ramadhan, Sedangkan, ia tidak tahu apakah masih ada sisa umurnya tuk berjumpa lagi.”

Karena itulah, detik-detik ketika Ramadhan akan berakhir, yang mereka pikirkan apakah amal-amal mereka diterima oleh Allah. Ibnu Mas'ud radhiyyalahu anhu berkata, “Siapakah orang yang diterima amalnya lalu kita ucapkan selamat kepadanya? Dan siapa yang tidak diterima amalnya lalu kita berkabung untuknya. Wahai orang yang diterima, selamat dan sukses untuk kalian. Wahai orang yan tertolak? Allah telah memperbaiki musibah kalian.”

Inilah ucapan yang harus diungkapkan oleh seorang mukmin, sebagaimana yang juga biasa dikatakan oleh para sahabat nabi, "taqqabballohu minna wa minkum, semoga Allah menerima semua amal ibadah kita".

Diterimanya amal ibadah selama Ramadhan menjadi yang paling utama, karena rasululloh pernah bersabda, “Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” [HR Ath-Thabroniy). Begitu pula dalam hadist lain, Rasulullah menyebutkan betapa banyak orang yang melakukan Qiyamul Ramadhan (tarawih), tapi mereka hanya mendapatkan  rasa lelah dan penat. Apakah kita termasuk golongan orang-orang yang seperti itu?

Ketika memasuki Ramadhan, kita sudah diingatkan oleh nabi, ada sekelompok orang yang celaka, yaitu orang menjalani Ramadhan, tapi ampunan Alloh tak kunjung tiba menjumpainya.  Fudholah bin ‘Ubaid pernah mengatakan, “Seandainya aku mengetahui bahwa Allah menerima dariku satu amalan kebaikan sebesar biji saja, maka itu lebih kusukai daripada dunia dan seisinya, karena Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah hanya menerima (amalan) dari orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al Maidah: 27)”

Mereka selalu memohon kepada Alloh, selama enam bulan agar dapat berjumpa dengan bulan Ramadhan. Kemudian enam bulan sisanya, mereka memohon kepada Allah agar amalan mereka diterima. Lalu, apa ukurannya bahwa semua ibadah kita selama Ramadhan diterima oleh Allah Ta'ala? Jika selama Ramadhan, kita begitu dimudahkan untuk membaca Alquran dan mengkhatamkannya, shalat berjamaah di masjid dan berbagai shalat sunnah lainnya, serta bersedekah, maka begitulah seharusnya di luar Ramadhan, kita mampu mempertahankannya. Tapi, apakah kondisinya sebaliknya, gairah beribadah melemah dan cahaya iman meredup.  

Ramadhan dijadikan momentum pembinaan mental spiritual, yang hasilnya berlanjut di luar Ramadhan. Karena itu, sukses Ramadhan terletak pada bulan-bulan selanjutnya. Apakah masih istiqomah dalam ibadah dan berbagai amal sholeh?  Rasululloh tak membeda-bedakan waktu beramal kebaikan.

Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadist, pada suatu ketika, Alqamah pernah bertanya pada Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu anha mengenai amal ke seharian Rasulullah, Apakah beliau mengkhususkan hari-hari tertentu untuk beramal? Aisyah menjawab, Beliau tidak mengkhususkan waktu tertentu untuk beramal. Jika beliau beramal, beliau selalu terus-menerus melakukannya. (HR al-Bukhari dan Muslim).

Dalam sebuah ceramah Ramadhan, Ustadz Bachtiar Nasir pernah mengingatkan janganlah kita menjadi penghamba Ramadhan, seolah-olah Allah hanya berhak disembah pada bulan Ramadhan. Karena itulah, Jangan katakan selamat tinggal Ramadhan. Tapi, katakanlah "telah selesai masa pembekalan, maka saatnya masa pengamalan" Alloh Azza wa Jalla telah berfirman, “Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu al yaqin (yakni ajal).” (QS. Al Hijr: 99).

Menurut Ibnu Abbas yang dimaksud dengan al yaqin dalam ayat ini adalah kematian. Ajal adalah sesuatu yang pasti terjadi, tidak ada seorang pun yang bisa menghindarinya. Sementara al Zujaaj mengatakan bahwa yang dimaksud ayat ini adalah sembahkan Allah selama-lamanya, dan jangan mengatakan sembahkan Allah pada waktu tertentu. Beribadah itu bukan musiman, tapi harus terus menerus, bahkan amalan yang dicintai oleh Alloh Ta'ala,  sebagaimana yang disabdakan oleh Rasululloh adalah amalan yang kontinu (terus menenerus) walaupun itu sedikit (HR Muslim).

Ketika Ramadhan membiasakan kita untuk berpuasa, maka biasakanlah untuk berpuasa sunnah di hari-hari lainnya. Jika Ramadhan membiasakan kita untuk sholat tarawih dan bangun di akhir malam untuk sahur, maka biasakanlah kita untuk bangun di sepertiga malam terakhir, untuk bermunajat kepada Allah. Inilah waktu dikabulkan doa-doa kita. Jika Ramadhan membiasakan kita untuk bersedekah, maka jangan berhenti menjadi ahli sedekah, karena ini menjadi salah satu ciri orang-orang yang bertaqwa.

Dengan rahmat-Nya, Alloh memberi anugrah kepada kita dengan Ramadhan, untuk menabung amal lebih banyak dan mendapat ampunan-Nya. Karena, orang yang menjalankan puasa dengan penuh keimanan dan berharap dengan pahala Alloh, maka Alloh akan mengampuni dosa-dosanya yang telah berlalu.

Begitu dengan shalat malam, yang juga dijanjikan dengan pengumpunan dosa.  Dalam hadist lain, rasululloh juga memberi kabar gembira, dari Ramadhan ke Ramadhan lainnya menjadi pelebur dosa-dosa kita. 

Karena itu, Ibnu Rajab dalam Lathoiful Ma'arif mengutip sebuah hadist nabi, “Seandainya umatku mengetahui apa yang terdapat dalam bulan Ramadhan, maka sungguh mereka akan berharap satu tahun itu Ramadhan penuh. Sesungguhnya surga berhias menyambut Ramadhan setiap tahunnya”

Karena itu, orang-orang sholeh punya ungkapan yang indah untuk Ramadhan, "Berpuasalah di dunia dan jadikanlah waktu berbukanya saat kematian. Dunia adalah seluruhnya bulan puasa bagi orang orang yang bertakwa. Orang yang lulus dalam Ramadhan, ia akan menjadikan seluruh hidupnya berpuasa, yaitu berpuasa dari syahwat yang diharamkan. Dan, ketika ajal menjemput kita, maka telah usai berpuasa kita."

Selamat merayakan idul fitri, dan selamat menjadikan Ramadhan di setiap hari yang kita lalui. Karena itu, jangan katakan Selamat Tinggal Ramadhan, tapi katakanlah Selamat Datang Ramadhan. Wallohu 'alam

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler