Aplikasi Pemesanan Tiket Feri Online Disebut Mempersulit Masyarakat
70 persen pengguna angkutan penyeberangan adalah masyarakat menengah ke bawah.
REPUBLIKA.CO.ID,SURABAYA -- Ketua Harian Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Jatim, Bambang Haryo Soekartono mengkritisi PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) yang menghapus penjualan tiket langsung di pelabuhan dan menggantinya dengan penjualan online melalui aplikasi Ferizy.
Bambang menilai langkah tersebut salah kaprah dan justru mempersulit masyarakat pengguna angkutan penyeberangan. Bambang menjelaskan, untuk memesan tiket online dari smartphone rata-rata calon penumpang mengaku menemui kesulitan. Sebab, fitur dari aplikasi Ferizy dirasanya jauh dari standar kelayakan. Selain itu, sekitar 70 persen pengguna angkutan penyeberangan adalah masyarakat menengah ke bawah yang gagap teknologi.
"Banyak keluhan masyarakat yang kesulitan menggunakan aplikasi tersebut untuk mendapatkan tiket, sehingga akhirnya mereka harus membayar calo untuk mengakses aplikasi tersebut," kata Bambang, Jumat (13/5/2022).
Bambang pun mengungkapkan munculnya banyak calo yang bertebaran di lintasan penyeberangan, baik itu di sekitar Pelabuhan Merak-Bakauheni maupun Pelabuhan Ketapang-Gili Manuk. Biaya yang harus dikeluarkan calon penumpang untuk mendapatkan tiket melalui calo itu pun menjadi mahal.
"Misalnya tiket sepeda motor dari Rp54.000 dijual Rp65.000. Sementara tiket penumpang bengkak dari Rp19.500 menjadi Rp25.000 dengan bantuan calo-calo yang tumbuh subur," ujar Bambang.
Padahal, lanjut Bambang, setiap kali melakukan pembelian tiket online dari aplikasi Ferizy, konsumen sudah dikenakan biaya administrasi sebesar Rp2.500. Biaya tersebut pun, lanjut Bambang, seharusnya tidak boleh dikutip dari konsumen sebab pelayanan pembelian tiket sudah dibebankan kepada konsumen dengan membayar uang jasa kepelabuhanan yang cukup besar.
Bambang pun menjabarkan beberapa praktik penjualan tiket penyeberangan di sejumlah negara yang menyediakan berbagai pilihan meskipun telah menerapkan tiket online. Di negara-negara Eropa, Jepang, Filipina, termasuk negara kepulauan lainnya seperti Karibia, Yunani, dan lain-lain, untuk mendapatkan tiket penyeberangan tetap memberikan layanan penjualan secara cash.
"Walaupun mereka sudah melayani penjualan secara online untuk mempercepat pelayanan. Bahkan di Eropa, bila membeli secara online, harga tiket didiskon sebesar 50 persen bukan malah dibebankan biaya administrasi seperti di Ferizy ASDP,” kata Bambang.
Bambang juga menuntut, karut-marut pelayanan tiket online di ASDP harus dilakukan satu penyelidikan. Dimana banyak tiket hangus tak bertuan, penambahan biaya yang tidak lazim, menumbuh-suburkan sistem percaloan di penyeberangan, dan menimbulkan kemacetan karena cenderung mempersulit konsumen.
“Sudah seharusnya Satgas Pungli KPK, BPK, Kejaksaan, dan YLKI perlu turun tangan, terutama untuk menyelidiki mitra kerja online PT ASDP,” ujarnya.
Bambang juga mendesak ASDP segera membenahi aplikasi Ferizy dan menggantinya dengan sistem yang lebih profesional dan mumpuni. ASDP juga menurutnya harus bertanggung jawab menertibkan calo-calo di pelabuhan, serta menghapus biaya administrasi pembelian tiket online Rp2.500 per transaksi, karena biaya ini sudah dibebankan dalam biaya jasa kepelabuhanan.
Bila tetap diberlakukan tiket online, lanjut Bambang, pengelola penyeberangan bisa menerapkan seperti halnya di jalan tol menggunakan e-Toll, yang bisa dilakukan dengan mudah tanpa aplikasi. Karena untuk mendapatkan tiket online ASDP, masyarakat harus mengunduh dulu aplikasi di smartphone untuk setiap pembelian tiket sehingga mempersulit masyarakat yang saat ini masih banyak yang tidak melek teknologi.