Twitter akan Atasi Hoaks Soal Perang Ukraina
Twitter akan mulai menempatkan label peringatan baru untuk konten hoaks
REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK - Twitter akan mulai menempatkan label peringatan baru untuk konten hoaks atau berita palsu (disinformasi) terkait perang di Ukraina. Kebijakan baru ini merupakan bagian dari upaya untuk menegaskan informasi yang akurat selama masa konflik maupun krisis termasuk di Ukraina.
Perusahaan tersebut juga bakal menambahkan label peringatan untuk membantah klaim tentang krisis kemanusiaan yang tengah berlangsung. Peningkatan terhadap informasi yang salah seputar invasi Rusia ke Ukraina adalah bagian dari kebijakan baru Twitter yang menguraikan langkah perusahaan dalam pendekatannya menghadapi disinformasi selama krisis.
Pemberitahuan label peringatan baru akan mengingatkan pengguna, bahwa pengguna tidak bisa mencicit, menyukai, meneruskan atau menanggapi unggahan yang melanggar aturan. Namun pengguna masih memungkinkan orang untuk melihat dan berkomentar.
"Pendekatan itu bisa menjadi cara yang lebih efektif untuk campur tangan untuk mencegah bahaya, sambil tetap menjaga dan melindungi ucapan di Twitter," kata Yoel Roth, kepala keamanan dan integritas di Twitter.
Perusahaan akan memprioritaskan penambahan label pada tweet menyesatkan dari akun profil tinggi seperti pengguna terverifikasi atau profil resmi pemerintah. Ini juga akan memprioritaskan konten yang dapat membahayakan orang-orang di lapangan.
Twitter mengatakan mereka mendefinisikan krisis sebagai situasi di mana ada ancaman yang meluas terhadap kehidupan, keselamatan fisik, kesehatan, atau penghidupan dasar. Dikatakan kebijakan itu awalnya akan fokus pada konflik bersenjata internasional, namun pada perjalanannya juga ditujukan untuk peristiwa seperti penembakan massal atau bencana alam.
"Sementara garis waktu untuk pekerjaan ini dimulai sebelum perang di Ukraina pecah, kebutuhan akan kebijakan ini menjadi fokus yang lebih jelas ketika konflik di Ukraina berlangsung," kata Roth.
Platform media sosial itu memang tengah menghadapi peningkatan pengawasan atas bagaimana mereka menentukan dan menangani informasi yang salah. Terlebih bermunculannya propaganda dan rumor yang berkembang luas sejak Rusia menginvasi Ukraina pada Februari.
Informasi yang salah itu berkisar dari rumor yang disebarkan oleh pengguna yang bermaksud baik hingga propaganda Kremlin yang diperkuat oleh diplomat Rusia atau akun dan jaringan palsu yang terkait dengan intelijen Rusia. Kebijakan juga bakal melengkapi aturan Twitter yang telah ada seperti klaim palsu tentang pemilu, informasi hoaks tentang kesehatan hingga informasi sesat soal Covid-19 dan vaksin.
Twitter setuju untuk menjual perusahaannya kepada Kepala Eksekutif Tesla Elon Musk. Musk yakin, Twitter harus menjadi platform kebebasan berbicara, dan ini sepertinya tidak serujuk dengan kebijakan baru Twitter.