Jaksa Agung AS Gugat Mark Zuckerberg Terkait Skandal Cambridge Analytica
Gugatan terhadap Zuckerberg didasarkan pada ratusan ribu dokumen Cambridge Analytica.
REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON DC — Kejaksaan Agung Washington DC menggugat Mark Zuckerberg untuk meminta pertanggungjawaban pendiri Facebook itu secara pribadi. Gugatan diajukan atas dugaan perannya dalam mengizinkan konsultan politik Cambridge Analytica mendapatkan data pribadi jutaan orang Amerika selama siklus pemilihan 2016.
Gugatan yang diajukan oleh Jaksa Agung Distrik Columbia, Karl Racine tersebut menuduh Zuckerberg secara langsung berpartisipasi dalam kebijakan yang memungkinkan Cambridge Analytica mengumpulkan data pribadi pemilih AS tanpa sepengetahuan mereka. Khususnya dalam upaya membantu kampanye pemilihan Donald Trump.
"Pelanggaran keamanan yang belum pernah terjadi sebelumnya ini mengungkap puluhan juta informasi pribadi orang Amerika dan kebijakan Zuckerberg memungkinkan upaya dalam beberapa tahun untuk menyesatkan pengguna tentang sejauh mana perilaku salah Facebook," kata Racine dikutip dari The Guardian, Senin (24/5/2022).
Gugatan ini tidak hanya perlu dibuktikan, namun juga mengirimkan pesan bahwa para pemimpin perusahaan, termasuk kepala eksekutif akan dimintai pertanggungjawaban atas tindakan mereka. Meskipun begitu sejauh ini Meta perusahaan induk Facebook, Whatsapp, dan Instagram tersebut belum berkomentar.
Racine sebelumnya telah menggugat Meta di bawah Undang-undang Prosedur Perlindungan Konsumen Distrik Columbia. Tindakan tersebut membuat individu terkait harus bertanggung jawab atas pelanggaran.
Gugatan terhadap Zuckerberg didasarkan pada ratusan ribu dokumen. Termasuk juga deposisi dari karyawan dan pelapor, yang telah dikumpulkan sebagai bagian dari litigasi yang sedang berlangsung terhadap Meta.
“Kami terus bertahan dan telah mengikuti bukti-bukti yang tepat untuk Zuckerberg,” tutur Racine.
Racine menuduh skandal Cambridge Analytica adalah hasil dari keinginan Zuckerberg untuk membuka Facebook kepada pengembang pihak ketiga.Gugatan tersebut menuduh Zuckerberg menyadari risiko kebocoran data yang terkait dengan strategi tersebut.
Gugatan tersebut menunjukkan sejak 2012, Zuckerberg telah menjabat sebagai ketua dewan Facebook dan mengendalikan sekitar 60 persen saham voting. “Bukti menunjukkan bahwa Zuckerberg bertanggung jawab dan memiliki kemampuan yang jelas untuk mengendalikan operasi sehari-hari Facebook," kata Racine dalam sebuah pernyataan.
Seperti yang diungkapkan The Guardian pada 2018, Cambridge Analytica’yang disewa oleh tim kampanye pemilihan Trump 2016, memperoleh akses ke data pribadi 50 juta pengguna Facebook. Perusahaan mengklaim informasi tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi berbagai jenis pemilih dan memengaruhi perilaku mereka.
Pada 2019, Facebook didenda sebesar 5 miliar dolar AS oleh Federal Trade Commission (FTC) karena melanggar privasi konsumen. Para pengkritik denda mengatakan denda itu terlalu sedikit untuk mengubah perilaku perusahaan dan menuduh bahwa litigasi seharusnya diajukan terhadap Zuckerberg.
Ketua Hukum Williams di University of Richmond Carl Tobias mengatakan mungkin sulitnuntuk menuntut pejabat perusahaan dalam kapasitas pribadi mereka. “Pengajuan ini tampaknya kreatif, tetapi mungkin tidak lebih berhasil daripada upaya sebelumnya untuk menuntut CEO dan pejabat perusahaan dalam kapasitas pribadi,” ujar Tobias.