Dokter Ungkap Pengalamannya Ketika Kena Cacar Monyet

Dokter hewan bernama Kurt Zaeske pernah terkena wabah cacar monyet di AS pada 2003.

CDC via AP
Dokter hewan dr Kurt Zaeske pernah terkena cacar monyet dan menjelaskan bagaimana rasanya. (ilustrasi)
Rep: Adysha Citra Ramadani Red: Qommarria Rostanti

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wabah cacar monyet belakangan ini ramai diperbincangkan karena telah menyebar di banyak negara, dengan total kasus mencapai lebih dari 200. Namun, cacar monyet sebenarnya bukan penyakit baru dan pernah menyebabkan wabah pada masa lalu.

Baca Juga


Di Amerika Serikat misalnya, cacar monyet pernah menjadi wabah pada 2003. Dokter hewan bernama dr Kurt Zaeske merupakan salah satu orang yang terdampak oleh wabah tersebut.

Dr Zaeske terkena cacar monyet setelah menangani anjing padang rumput (prairie dog) yang terinfeksi virus monkeypox milik kliennya. Meski bernama anjing, anjing padang rumput sebenarnya merupakan mamalia penggali yang mirip seperti tupai. Para anjing padang rumput ini tertular virus monkeypox dari tikus Gambia.

"Perlu beberapa hari sebelum saya mulai merasa seperti flu berat (setelah berkontak dengan anjing padang rumput terinfeksi)," jelas dr Zaeske, seperti dilansir di laman Eat This Not That, Ahad (29/5/2022).

Kala itu, dr Zaeske dihubungi oleh kliennya setelah tikus Gambia dan beberapa anjing padang rumput miliki klien tersebut mati tanpa diketahui sebabnya. Tak lama setelah itu, klien tersebut dan saudara perempuannya juga jatuh sakit.

Oleh karena itu, dr Zaeske datang untuk menyuntik mati satu ekor anjing padang rumput miliki kliennya agar bisa diperiksa di laboratorium milik negara di Wisconsin. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui apa yang menjadi penyebab matinya beberapa hewan milik klien tersebut.

Dr Zaeske juga mengobati anjing-anjing padang rumput lain yang sakit dengan obat antibiotik. Pemberian obat tersebut tampak efektif karena seluruh anjing padang rumput yang diobati bisa mencapai kesembuhan.

Tak lama setelah itu, dr Zaeske juga mulai merasa tidak enak badan. Menurut dr Zaeske, beberapa gejala awal yang dia alami adalah menggigil, demam, nyeri, sakit kepala, dan sedikit pembengkakan di kelenjar getah bening.

"Dalam sepekan saya mulai memiliki lesi seperti cacar dan ada satu lesi parah yang muncul di jempol saja," jelas dr Zaeske.

Dr Zaeske lalu menghubungi rumah sakit dan mengabari adanya kemungkinan wabah yang sedang terjadi. Selain itu, dr Zaeske dan kliennya serta saudara perempuan klien tersebut juga diobati dengan antibiotik.

"Saya merespons cukup bagus terhadap antibiotik tersebut," kata dr Zaeske.

Menurutnya, lesi cacar monyet bertahan sekitar dua pekan. Dia sempat merasa khawatir tak bisa lagi berpraktik karena lesi di jempolnya cukup berat.

Hasil pemeriksaan laboratorium lalu menunjukkan bahwa penyakit yang dia derita disebabkan oleh infeksi virus monkeypox. Peneliti menilai virus tersebut dibawa dari Afrika melalui tikus Gambia milik kliennya, lalu tikus tersebut mulai menularkan virus kepada anjing-anjing padang rumput lain.

"Setelah sembuh, lesi pun hilang. Seperti cacar air. Saya memiliki bekas parut di jempol saya, tapi hanya itu," kata dia.

Mengingat saat ini ada lebih dari 200 kasus cacar monyet yang ditemukan di banyak negara, ada beberapa hal yang bisa dilakukan sebagai upaya pencegahan. Salah satunya adalah lewat vaksin cacar (smallpox). Selain itu, hindari kontak erat dengan orang yang tampak sedang tidak sehat.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler