Peneliti Stanford Kembangkan Molekul Sintetis Penghancur Kanker

Molekul sintetis menargetkan tumor yang memicu sistem imun.

youtube
Kelompok peneliti dari Stanford University mengembangkan sebuah molekul sintetis baru untuk menyerang tumor kanker.
Rep: Adysha Citra Ramadani Red: Nora Azizah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kelompok peneliti dari Stanford University mengembangkan sebuah molekul sintetis baru untuk menyerang tumor kanker. Molekul sintetis ini mengombinasikan agen yang menarget tumor (PIP) dengan agen yang memicu aktivasi imun (CpG).

Baca Juga


Seperti diketahui, mengaktivasi sistem imun di titik tumor dapat menstimulasi sel-sel imun untuk menghancurkan sel-sel tumor. Strategi ini biasanya dilakukan dengan menyuntikkan agen yang menstimulasi imun langsung ke tumor. Terapi ini cukup sulit diterapkan pada kasus kanker yang tumornya tak mudah diakses.

Oleh karena itu, tim peneliti dari Stanford University mengembangkan molekul baru yang bisa mengantarkan agen penstimulasi imun ke berbagai area tumor di dalam tubuh. Molekul baru yang menggabungkan PIP dan CpG ini dikenal sebagai PIP-CpG.

PIP-CpG dapat digunakan sebagai imunoterapi dan diberikan melalui suntikan infus. Setelah itu, PIP-CpG akan menuju ke titik-titik tumor di dalam tubuh yang membutuhkan bantuan sel imun untuk melawan kanker.

Sejauh ini, PIP-CpG baru diteliti pada hewan tikus. Berdasarkan penelitian pada tikus di laboratorium, pemberian tiga dosis imunoterapi baru dengan PIP-CpG ini dapat memperpanjang harapan hidup pada enam dari sembilan tikus yang mengidap kanker payudara agresif jenis triple negatif.

Dari keenam tikus tersebut, sebanyak tiga di antaranya berhasil sembuh dari kanker. Selain itu, tim peneliti menemukan bahwa pemberian satu dosis PIP-CpG bisa memicu regresi tumor menyeluruh pada lima dari 10 tikus.

Selain pada tikus yang mengidap kanker payudara triple negatif, tim peneliti juga memberikan imunoterapi bar ini pada tikus dengan kanker pankreas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, molekul sintetis PIP-CpG juga dapat memberikan hasil yang serupa pada tikus dengan kanker pankreas.

"Kami pada dasarnya menyembuhkan beberapa hewan hanya dengan beberapa kali suntikan," ungkap Shriram Chair dari Department of Bioengineering Jennifer Cochran PhD, seperti dilansir The Brighter Side, Rabu (1/6/2022).

Cochran mengatakan temuan ini cukup mencengangkan. Alasannya, terapi tersebut bisa mengubah tumor yang sebelumnya merupakan lingkungan mikro yang sangat imunosupresif menjadi lingkungan mikro yang dipenuhi dengan sel B dan sel T yang aktif.

"Kami mencapai hasil seperti (memberikan terapi lewat) injeksi intra tumor, namun melalui pemberian lewat infus," ujar Cochran.

Temuan dalam studi ini akan dipublikasikan secara daring melalui jurnal Cell Chemical Biology. Pengembangan imunoterapi baru dengan PIP-CpG ini sebenarnya didasarkan pada studi sebelumnya yang dilakukan oleh tim peneliti lain dari University of Stanford.

Dalam studi tersebut, tim peneliti memberikan CpG dan agen pengaktivasi imun lain melalui suntikan langsung ke titik tumor. Studi tersebut menunjukkan bahwa kombinasi tersebut dapat mengeradikasi tumor pada tikus. Temuan ini sedang memasuki tahap uji klinis pada pasien limfoma non Hodgkin.

Terkait PIP-CpG, hingga saat ini masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan apakah molekul tersebut siap untuk diujikan pada manusia. Penelitian lebih lanjut juga diperlukan untuk memperhitungkan kapan PIP-CpG bisa diujikan pada manusia.

Peneliti menambahkan, imunoterapi baru ini menggunakan molekul PIP yang dapat mengenali protein bernama integrin. Integrin biasanya ditemukan dalam jumlah banyak pada permukaan berbagai jenis sel kanker. Oleh karena itu, tim peneliti menilai ada peluang di masa depan bahwa terapi ini bisa menjadi terapi over the counter untuk pasien dengan berbagai jenis kanker.

"PIP adalah agen penarget tumor yang sangat serbaguna, karena bisa melokalisasi berbagai jenis tumor yang berbeda," jelas peneliti Caitlyn Miller.

Miller menambahkan, PIP tidak hanya aktif secara biologis pada tikus saja. Molekul ini juga aktif secara biologis pada primata non manusia dan manusia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler