Sempat Mengira Sakit Tenggorokan Biasa, Perempuan Ini Divonis Kanker Darah Langka
Berat badannya menurun, gusinya sering berdarah, dan muncul ruam di tubuhnya.
REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Georgia Masson, perempuan berusia 24 tahun asal Inggris ini mengalami sakit tenggorokan, sakit saat menelan, hingga radang amandel. Dia terkejut setelah mendengar diagnosa dokter yang menyatakan dia mengidap kanker darah langka.
Dia berpikir gejala yang dialaminya hanya sebagai radang tenggorokan biasa. Ia mengabaikan masalah kesulitan menelannya sebagai infeksi setelah mengalami tonsilitis beberapa kali sebelumnya.
Masson tidak pernah menyangka bisa terkena kanker pada usia 24 tahun. Dia benar-benar mengira bahwa dirinya hanya mengalami sakit tenggorokan biasa, yang ternyata jauh lebih buruk.
Pada Juli 2021 Georgina mulai menyadari berat badan kian menurun, tetapi ia tidak terlalu memikirkannya karena ia memang sering diet untuk menurunkan beberapa kilogram saat musim panas.
Dia kemudian mendapati gusinya mudah berdarah dan mudah memar dengan cepat. “Saya tidak pernah mimisan atau apa pun, tetapi tiba-tiba saya mengalaminya. Saya pikir itu hanya memar biasa,” kata Georgina.
Dia berobat, namun setelah mengonsumsi antibiotik, perempuan yang juga kehilangan ayahnya karena kanker itu masih belum sembuh dan tetap terus berjuang untuk menelan bahkan hampir tidak bisa membuka mulutnya. Akhirnya ia dirawat di Rumah Sakit East Surrey, Redhill, di mana dokter menjalankan tes untuk mencari tahu penyebabnya. Di rumah sakit, sekujur tubuhnya mulai mengalami ruam. Dokter mengira itu reaksi terhadap antibiotik tetapi mereka tetap terus mengawasinya.
Setelah biopsi sumsum tulang, pada Agustus 2021 dia didiagnosis menderita acute promyelocytic leukaemia (APML) setelah sepekan dirawat di rumah sakit. “Saya merasa sangat mati rasa ketika mereka memberi tahu saya menderita kanker,” ujarnya yang juga bekerja sebagai admin dari Horsham, West Sussex.
Sekarang mendekati akhir dari delapan siklus kemoterapinya, hasil terbaru menunjukkan bahwa dirinya hampir sembuh total secara molekuler, dan ia merasa lebih positif setelah melewati semuanya. “Ada titik di mana saya pikir saya akan mati. Saya sangat beruntung saya mengetahuinya lebih awal,” kata dia.