Restoran Minang Non-Halal yang Dinilai Melukai Masyarakat Sumbar
Pengusaha resto disarankan melepas nama Minang di menu dagangannya.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Umi Nur Fadhilah, Zainur Mahsir Ramadhan
Makanan Minang boleh jadi kegemaran banyak masyarakat bukan hanya di Sumatra Barat (Sumbar). Kemunculan pedagang makanan Minang non-halal alias menggunakan babi pun menuai reaksi publik. Terutama karena menu Minang selama ini identik dengan makanan yang halal.
Sejumlah pihak melayangkan protes dan menyatakan opininya terkait makanan Minang non-halal tersebut. Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengingatkan pengusaha makanan Padang yang menyediakan menu daging babi terkait perasaan berbagai pihak. Mantan anggota DPR itu namun tidak melarang adanya kreativitas yang datang dari masyarakat termasuk daging babi yang dimasak dengan bumbu khas Minang.
"Kalau mau ada kreativitas itu boleh tapi jangan sampai melukai yang lain, nanti dikhawatirkan kalau di restoran Padang itu orang makan. Nggak taunya haram," kata Riza, Jumat (10/6/2022).
Riza mengaku heran dengan adanya rumah makan atau usaha makanan Minang dengan menu daging babi. Alasannya, umumnya restoran dengan bumbu khas itu dikenal dengan menu makanannya yang halal.
"Jadi sejauh yang kita tahu dan kita makan, di restoran Padang selama ini menunya yang halal. Jadi kalau yang tidak halal itu ya keterbatasan kita, kita nggak tahu kok ada yang nggak halal," kata Riza.
Sebelumnya, muncul usaha kuliner khas Minangkabau yang menjual menu rendang babi ramai di media sosial (medsos). Usaha kuliner itu disebut berlokasi di Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Hal ini juga menyita perhatian berbagai kalangan, termasuk dua anggota DPR RI asal Sumatra Barat Andre Rosiade dan Guspardi Gaus. Mereka mengkritik usaha kuliner khas Minang yang menjual menu rendang berbahan daging babi.
Andre mengungkapkan bahwa usaha kuliner itu telah menimbulkan keresahan di masyarakat Minang karena menjual makanan yang diolah dari daging babi. Ia menyampaikan, banyak masyarakat Minang yang protes dengan rendang babi. Ketua Harian DPP Ikatan Keluarga Minang (IKM) itu mengimbau usaha kuliner tersebut menghilangkan unsur Minang dan tak lagi menjual rendang babi.
DPP IKM mendapatkan aduan dari masyarakat. "Untuk itu kami mengimbau pengusaha restoran ini untuk mengubah nama restorannya, jangan berhubungan dengan unsur Minang," kata Andre.
Dia mengingatkan, menjual rendang babi tidak sesuai dengan nilai-nilai Minangkabau yang memiliki falsafah adat "basandi syarak, syarak basandi kitabullah" yang identik dengan nilai Islam. Menurut Waketum Gerindra itu, rendang merupakan makanan khas Minang sehingga tidak bisa dipisahkan dari falsafah tersebut.
"Sedangkan yang bersangkutan menjual nilai babi, tentu tidak identik dengan nilai nilai Minangkabau," katanya.
Dia mengimbau kepada pengusahanya untuk mengganti nama restorannya dan jangan menjual rendang babi. "Rendang itu makanan khas Minang. Untuk itu kami mengimbau, tidak usah memproduksi rendang babi," ujar Andre.
Sementara seorang putra Minang yang juga Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, Anwar Abbas, mengatakan orang Minang memiliki falsafah 'di mana adat bersendi syara' dan syara' bersendi kitabullah. Ia pun merasa tersinggung dengan adanya menu Minang berbahan babi.
"Sebagai bagian dari warga masyarakat Minang saya benar-benar tersinggung," katanya, dalam keterangan pers. Ia menilai, praktik yang dilakukan oleh pengusaha restoran tersebut telah merendahkan adat dan ajaran agama yang dihormati oleh orang Minang.
"Untuk itu saya meminta pihak kepolisian agar turun dan menyelesaikan persoalan ini secepatnya serta menyeret yang bersangkutan ke pengadilan karena yang bersangkutan telah melakukan praktik tidak terpuji berupa pelecehan terhadap ajaran agama dan budaya dari orang minang itu sendiri yang itu jelas-jelas telah menyakiti hati kami sebagai orang Minang atau Padang yang menghormati adat dan ajaran agamanya," paparnya.
Pakar kuliner Nusantara, William Wongso, menganggap penyebutan nama Kota Padang untuk nama restoran non-halal itu tidak elok. “Di Indonesia kan kebanyakan Muslim, dan juga Padang identik dengan (makanan) halal. Kalau mau bikin itu (rendang) versi lain, nggak usah disebut Padang,” kata William kepada Republika, Jumat (10/6/2022).
Jika dilihat dari sisi perkembangan kuliner di Nusantara, dia mengatakan babi yang dimasak dengan bumbu rendang itu boleh saja. Namun, William mengatakan secara pribadi tidak suka masakan babi dibumbui resep rendang.
“Buat saya tidak cocok dimasak rendang. Saya pernah menemui nasi campur dengan pilihan rendang babi. Tapi dia tidak gembar-gembor (menyebut nasi Padang),” ujar dia.
Dia menekankan bahwa secara masakan, daging babi tidak masalah diolah dengan bumbu rendang. “Kalau masakan sendiri tak masalah, tapi dengan penyebutan Padang-nya itu yang identik sama masyarakat Muslim,” kata William.
Dia beranggapakan bahwa kuliner non-halal yang dibuat menjadi halal cenderung mudah diterima masyarakat Indonesia, yang mayoritas Muslim. “Iya, kalau (menurut) saya ya nasi campur saja dengan rendang non-halal tanpa sebut daerahnya,” ujar dia.
William berbagi bahwa sebenarnya daging merah apa saja bisa dimasak dengan bumbu rendang. Bahkan, dia pernah bereksperimen memesak paniki dengan bumbu rendang, yang menurutnya enak.
“Paniki juga bisa dimasak dengan bumbu rendang. Daging liar itu banyak yang bisa direndang, terus kasuari, saya eksperimen daging binatang di Afrika semua bisa,” kata dia.
Apa yang terenak versi chef William? Paniki, yang tetap kuat dengan bumbu rendangnya. William berbagi bahwa dirinya baru mencicipi daging kuda yang dimasak rendang, yang merupakan oleh-oleh dari Kota Dolok Sanggul, Sumatra Utara (Sumut). Rendang kuda itu memiliki sentuhan Batak, dengan pemberian andaliman.
Kasatpol PP DKI Jakarta Arifin menjanjikan penelusuran dan penindakan jika ada pelanggaran terkait penjualan nasi padang non-halal. Menurutnya, saat ini pihak dia baru akan menanyakan pada unsur wilayah setempat. “Satpol PP langsung masuk kategori penindakan jika ada pelanggaran,” tuturnya.