Menjaga Marwah Pers Agar tak Kebablasan
Pers atau media massa menjadi acuan bagi masyarakat dalam mendapatkan informasi.
Oleh : Arbaiyah Satriani, Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Unisba
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak awal kehadirannya, pers mempunyai peran vital dalam kehidupan masyarakat. Pers atau media massa menjadi acuan bagi masyarakat dalam mendapatkan informasi sekaligus merupakan medium untuk mengecek kebenaran informasi yang beredar.
Kekuatan ini muncul karena dalam melaksanakan kegiatannya, pers menerapkan disiplin verifikasi. Artinya, dalam setiap informasi/berita yang disebarkan, sudah dilakukan proses pengecekan berjenjang sehingga produk yang dikeluarkan dapat dipercaya.
Dalam dunia politik dan pemerintahan, pers juga menjadi “anjing penjaga” (watch dog) bagi lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Karena itu pula, kita mengenal istilah the fourth pillars of democracy atau pilar keempat demokrasi untuk menunjukkan peran penting pers dalam kehidupan bernegara.
Pers masih diperlukan
Hingga saat ini, di era digital yang menumbuhsuburkan peran media sosial di masyarakat, kehadiran pers masih diperlukan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa generasi z masih mencari informasi dari media massa saat informasi yang ditemukan di media sosial diragukan kebenarannya. Dengan kata lain, anggapan sebagian orang bahwa media massa sudah tidak berpengaruh lagi di era media sosial saat ini, ternyata keliru.
Jika demikian adanya maka media massa tak boleh gegabah dalam menyebarkan informasi dengan alasan apa pun. Kecepatan di media online seringkali menjadi panglima.
Namun kecepatan yang tak dibarengi dengan verifikasi yang memadai, justru menimbulkan banyak masalah di kemudian hari. Bagaimanapun, berita yang didistribusikan media massa haruslah berita dan informasi yang berkualitas, bermanfaat serta dari sumber yang terpercaya dan kompeten di bidangnya.
Seseorang hanya layak dikutip oleh media massa jika ia memang mempunyai kepakaran atau keahlian maupun pengetahuan yang memadai mengenai suatu hal. Popularitas bukanlah satu-satunya ukuran seseorang untuk dinyatakan layak menjadi narasumber media massa.
Dalam dunia jurnalistik, ada yang dinamakan unsur berita. Menurut wartawan senior (alm) Djafar Assegaf, sebuah peristiwa atau seseorang bisa diberitakan jika memenuhi unsur-unsur pemberitaan seperti penting, menarik, berdampak luas, mempunyai kedekatan, mengandung human interest, berkaitan dengan unsur seks, mengenai perkembangan, ketegangan, pertentangan, atau sesuatu yang tidak biasa. Artinya, terdapat beragam kriteria yang ditetapkan dan harus dipatuhi jurnalis maupun media massa sebelum informasi tersebut disebarluaskan.
Harus pula diingat nama besar sebuah media massa dan daya jangkaunya yang luas, menjadi hal penting lainnya yang perlu dipertimbangkan. Sebuah media massa besar yang memberitakan informasi keliru atau bahkan hoaks, akan mendapat imej buruk dari khalayak karena dianggap tidak kredibel.
Jika kekeliruan atau keteledoran semacam itu terjadi berkali-kali maka reputasi media massa tersebut akan turun bahkan hancur. Inilah yang perlu dihindari dan dijaga oleh media massa yang telah membangun reputasi tersebut dengan susah-payah.
Imbauan Dewan Pers
Terkait dengan hal tersebut, penulis menyambut baik imbauan Dewan Pers kepada media massa yang dikeluarkan pada 29 Mei 2022 mengenai pemberitaan pers tentang hilangnya putra Gubernur Jawa Barat Ridwal Kamil di sungai Aare Swiss dan hingga kini belum ditemukan. Banyak media mengutip pernyataan salah satu nara sumber yang sempat viral beberapa waktu lalu. Pernyataan berupa ramalan itu dinilai bermasalah karena terbukti tidak benar dan diucapkan oleh orang yang tidak memilik kompetensi. Apalagi, tak seorang pun dapat meramal nasib ke depan dan memastkan sesuatu akan terjadi.
Di antara isi imbauan Dewan Pers adalah sebagai berikut. “….Namun demikian, Dewan Pers mengimbau kepada seluruh insan pers dan jajaran news room dari berbagai platform media di tanah air untuk bekerja sesuai dengan kode etik dan melakukan pemberitaan dengan penuh tanggung jawab dan berdampak positif bagi publik. Selain itu juga, media dari berbagai platform seyogianya tidak membuat berita yang berkaitan dengan prediksi atau ramalan terkait sebuah peristiwa tragedi kemanusiaan.”
Imbauan ini sangat penting tak hanya bagi media massa tetapi juga menunjukkan eksistensi Dewan Pers yang salah satu tugasnya adalah mengawasi media. Selama ini banyak kasus terjadi berkaitan pelanggaran kode etik maupun ketentuan pemberitaan di media.
Dewan Pers pun telah menjatuhkan sanki atau hukuman atas pelanggaran tersebut. Namun, informasi tentang hal ini tak banyak diketahui oleh masyarakat secara luas. Sementara imbauan terkait tragedi kemanusiaan ini cukup menyita perhatian khalayak karena peristiwa hilangnya putra Gubernur Jawa Barat ini pun menjadi pemberitaan terus-menerus di media.
Atas imbauan Dewan Pers itu media massa diharapkan lebih berhati-hati dalam memilih narasumber dan memberitakan sesuatu. Sekalipun menarik tetapi jika menyesatkan dan membuat luka pihak terkait, apalah gunanya? Etika tetap harus dikedepankan. Profesionalisme jurnalis dan media juga menjadi taruhan. Bersaing untuk kepentingan bisnis memang tidak terhindarkan tetapi bukan berarti menghalalkan segala cara.
Sementara bagi Dewan Pers, imbauan ini seperti menjadi “gebrakan” dari lembaga yang selama ini sering dikritik sebagai lembaga yang tak bergigi. Semoga semangat semacam ini terus dipelihara oleh Dewan Pers periode 2022-2025 yang belum lama terpilih untuk menjaga marwah (kehormatan) pers dan menjaga Indonesia dari praktik media massa yang kebablasan.