PM Palestina Minta Parlemen Eropa Boikot Produk Israel
Perlunya gerakan mendesak Uni Eropa untuk mengakui Negara Palestina.
REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH -- Perdana Menteri (PM) Palestina Mohammed Shtayyeh meminta Parlemen Eropa memboikot produk yang dibuat di permukiman Israel. Pernyataan itu disampaikan selama pertemuannya dengan Presiden Aliansi Progresif Sosialis dan Demokrat di Parlemen Eropa Iratxe García Pérez dan sejumlah anggota Parlemen Eropa saat berada di Ramallah.
Dalam pertemuan tersebut, Shtayyeh dan Pérez membahas perkembangan politik terkini di Palestina. Perdana Menteri menekankan perlunya gerakan di Parlemen Eropa untuk mendesak negara-negara Uni Eropa untuk mengakui Negara Palestina. Termasuk juga memberikan tekanan pada Israel untuk menghentikan semua tindakan sepihak dan pelanggaran terhadap rakyat Palestina.
Dilansir dari Wafa News, Senin (13/6/2022), Shtayyeh juga meminta Parlemen Eropa menekan Israel agar mengizinkan diadakannya pemilihan umum di semua wilayah Palestina, termasuk Yerusalem, sesuai dengan perjanjian yang ditandatangani.
Perdana Menteri meminta Parlemen Eropa untuk mengambil langkah serius dan beralih dari memberi label pada produk permukiman menjadi memboikotnya. Shtayyeh juga mengaku negaranya menghargai dukungan Eropa yang diberikan kepada Palestina berdasarkan kemitraan dan persahabatan.
Bulan lalu, Uni Eropa mengumumkan pengalokasian 25 juta euro (setara Rp 379 miliar) dalam bantuan kemanusiaan untuk memenuhi kebutuhan dasar warga Palestina yang rentan di Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Gaza. Pendanaan Uni Eropa akan fokus pada penyediaan bantuan perawatan kesehatan.
Bantuan meliputi perawatan mental untuk trauma kepada mereka yang terkena dampak kekerasan yang berkelanjutan, konsekuensi blokade di Gaza dan dampak pandemi Covid-19. Bantuan itu juga akan fokus pada peningkatan akses ke sekolah anak baik laki-laki dan perempuan Palestina untuk menegakkan hak mereka atas pendidikan.
Uni Eropa, dalam sebuah pernyataan menyatakan lebih dari 2 juta perempuan Palestina, anak-anak dan laki-laki di Wilayah Pendudukan dan Jalur Gaza membutuhkan bantuan kemanusiaan. "Situasi ini semakin diperburuk oleh dampak agresi Rusia terhadap Ukraina, yang mengakibatkan kenaikan harga pangan dan bahan bakar," kata pernyataan tersebut.