Siswa 13 Tahun Meninggal Dirundung, Psikolog Ungkap Alasan Remaja Jadi Pelaku Bullying

Kasus bullying pada remaja kembali terjadi.

pixabay
Ilustrasi perundungan. Kasus bullying banyak terjadi pada remaja salah satunya disebabkan oleh faktor psikologis.
Rep: Dadang Kurnia Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Psikolog Universitas Airlangga (Unair) Tiara Diah Sosialita mengungkap penyebab banyaknya kasus bullying, utamanya pada remaja. Kasus terbaru telah mengakibatkan meninggalnya siswa MTS Negeri 1 Kotamobagu, Sulawesi Utara (Sulut).

Siswa yang masih berusia 13 tahun itu menjadi korban perundungan sembilan orang pelaku. Ia meninggal akibat kerusakan organ dalam.

Menurut Tiara, kasus bullying di Sulut itu layaknya puncak gunung es. Masih banyak kasus-kasus lain yang tidak mendapat atensi dari masyarakat luas.

Baca Juga



Tiara menjelaskan, kasus bullying banyak terjadi pada remaja salah satunya disebabkan oleh faktor psikologis. Perundungan dapat dipicu sikap-sikap negatif, seperti perasaan iri, dendam, dan permusuhan antarremaja.

Dari sisi pelaku, menurut Tiara, biasanya bullying dilakukan karena kepercayaan diri mereka yang cenderung rendah. Bullying menjadi sarana si pelaku untuk mencari perhatian orang-orang di sekitarnya.

"Asumsi mereka, dengan mem-bully orang lain mereka akan merasa puas, lebih kuat, serta menjadi lebih dominan,” kata Tiara, Rabu (22/6/2022).

Selain itu, lanjut Tiara, pengaruh negatif media juga turut menjadi penyebab tindakan bullying pada remaja. Berbagai tindakan kekerasan di televisi atau internet dapat menjadi inspirasi bagi para remaja untuk melakukan tindakan kekerasan bahkan tanpa alasan yang jelas sekalipun.

Guna mencegah perilaku bullying pada remaja, Tiara menekankan pentingnya para remaja mengetahui bentuk-bentuk tindakan bullying itu sendiri. Pada remaja, umumnya perundungan dapat dilakukan dalam bentuk verbal (mencemooh, membentak, mencela), fisik (menendang, memukul, meludahi), relasional (mengabaikan, mengucilkan), serta dalam bentuk cyberbullying.

"Kalau sudah mengenal bentuk-bentuk bullying, jika merasa mereka melakukannya maka perlu untuk berhenti. Seebaliknya, jika seseorang menyadari bahwa ia korban bully, ia perlu melakukan langkah-langkah untuk tidak membiarkan (tindakan) bully itu terus terjadi," ujar Tiara.

Korban dan saksi
Kepada korban, Tiara menyampaikan pentingnya menyikapi tindakan bullying dengan percaya diri dan menghadapinya dengan kepala tegak. Sebab, yang melakukan tindakan tercela adalah perundung, bukan korban. Artinya, yang harusnya merasa bersalah adalah pelaku.

Korban bullying, menurut Tiara, juga perlu mencari bantuan orang-orang yang dapat dipercayanya, seperti orang tua, saudara, guru, atau konselor. Selain itu, korban dapat menyimpan bukti-bukti tindakan bullying agar dapat dilaporkan kepada pihak berwajib.

Menyaksikan tindakan perundungan? Tiara pun berpesan agar orang yang melihat melakukan usaha seperti melerai, mendamaikan, atau mencari bantuan, baik kepada guru maupun pihak berwenang.

"Bullying itu bisa tumbuh subur karena orang-orang yang ada di sekitar remaja yang menjadi korban bullying itu diam aja," kata dia.

Tiara mengatakan, orang tua dapat meminta bantuan sekolah apabila anaknya terindikasi menjadi korban bullying. Mengingat dampaknya sangat besar terhadap psikis, orang tua juga dapat melibatkan profesional seperti konselor atau psikolog jika terdapat trauma pada korban.

"Jangan membiarkan bullying berlarut-larut sehingga remaja berkemungkinan melakukannya pada orang lain," ujar Tiara.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler