Ketiadaan UU, Membuat Sanksi Penjualan Miras tak Menjerakan
Holywings harusnya menjadi pelajaran perlunya aturan penegakkan hukum aturan miras.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Belum diaturnya produksi, distribusi, pengedaran, penjualan termasuk promosi, dan konsumsi minuman beralkohol atau minuman keras (miras) dalam sebuah regulasi berbentuk undang-undang (UU) menjadikan segala pelanggaran terkait miras hanya bersifat administratif. Kasus seperti Holywings harusnya menjadi pelajaran perlunya aturan penegakkan hukum aturan miras yang menjerakan.
Anggota DPD RI DKI Jakarta, Fahira Idris mengatakan, situasi seperti ini harus segera diakhiri, agar ketertiban dan kepastian hukum terhadap pelanggar miras hadir di masyarakat. Menurut Fahira, di banyak negara dunia bahkan di negara yang paling bebas sekalipun penjualan distribusi dan konsumsi miras sudah dipandang sebagai komoditas yang harus diatur secara ketat dan tegas lewat undang-undang.
Karena miras mempunyai dampak sosial dan kesehatan yang buruk terhadap kehidupan warga dan kehidupan masyarakat. "Kesadaran ini melahirkan konsensus bahwa semua pelanggaran terkait miras, sanksinya harus menjerakan agar pelanggaran tidak berulang dan bisa ditekan seminimal mungkin," kata Fahira kepada wartawan, Sabtu (2/7/2022).
Namun, situasi sebaliknya terjadi di Indonesia karena belum ada UU yang mengaturnya secara khusus. “Pelanggaran terkait miras mulai dari produksi, distribusi, pengedaran, penjualan termasuk promosi, dan konsumsi masih dianggap bukan pelanggaran besar karena memang aturannya menyiratkan demikian," jelasnya.
Terutama jika yang dilanggar terkait perizinan usaha perdagangan minuman beralkohol atau melanggar ketentuan penjualan miras, tidak sesuai peruntukkan dan tidak sesuai batasan usia (21 tahun ke atas). pelanggaran ini sanksi hukumnya kebanyakan administrasi, jadi tidak ada efek jera.
"Padahal, di luar negeri, pelanggaran-pelanggaran seperti ini apalagi menjual miras ke remaja, selain denda juga ada ancaman pidananya karena tegas diatur dalam undang-undang,” ujar Fahira.
Fahira yang juga Ketua Gerakan Nasional Anti Miras ini, meminta pemerintah pusat dan pemerintah daerah melakukan audit terkait peredaran dan distribusi miras ini. Sejauh mana para pelaku usaha yang menjual miras di daerahnya sudah memenuhi syarat-syarat usaha perdagangan miras sesuai aturan yang berlaku saat ini.
Menurut dia, audit ini penting, bukan hanya agar hukum berjalan tegak, tetapi agar miras tidak seenaknya dijual ke masyarakat. Harus diatur kemana saja peredarannya, kapan saja, dan dimana saja penjualannya. Termasuk siapa saja yang mengkonsumsi.
Bagi Fahira, selama tidak diatur dalam undang-undang, pelanggaran terkait miras akan leluasa terjadi. Undang-undang yang mengatur miras memungkinkan segala pelanggaran miras diberi sanksi tegas terutama sanksi pidana dan denda yang menjerakan.
"Aturan soal miras mulai Perpres dan Permendag tidak memungkinkan memberi sanksi pidana. Adapun daerah yang sudah mempunyai Perda Miras, maksimal sanksi pidana dan dendanya juga belum maksimal," ungkapnya.
Padahal, sebagai benda yang bernilai ekonomis tetapi mempunyai dampak buruk bagi sosial dan kesehatan, sudah selayaknya miras diatur dalam aturan hukum yang tegas, komprehensif, jelas. "Aturan yang berlaku secara nasional yaitu dalam sebuah undang-undang,” pungkas Senator DKI Jakarta ini.